'Dan. Terima kasih telah hadir mengisi kebekuan ruang ini. Dengan derai tawamu, kosong ini telah terisi. Hampa ini perlahan lenyap terbawa waktu seiring aku mengenalmu. Untuk beberapa menit dan detik yang kamu berikan. Aku akan mensyukurinya. Untuk masa yang sempat terjeda. Aku akan mengikhlaskannya. Bersama kamu, aku akan menitipkan rinduku dengan cara yang berbeda kali ini.
Bila dulu kutitipkan pesan rindu melalui sapaan angin. Sekarang aku akan menyampaikannya secara langsung kepada sang pencipta lewat do'a.
Terima kasih tentang perpisahan akhir yang menyakitkan ini. Kamu benar-benar sangat baik. tetap berusaha untuk membuatku tak terjatuh oleh kenyataan yang sesungguhnya. Jika kamu berniat untuk pergi selama-lamanya. Aku, Alluna. Yang pernah mencintaimu, yang pernah menunggumu, yang pernah tertawa karenamu.
Selamat jalan, Ardan. Semoga lelah dan sakitmu selama ini berakhir. Kamu tenang saja. Aku sudah mendapatkan seseorang seperti yang kamu harapkan. Dia adalah Putra. Belum sempat kukenalkan. Tapi aku akan mengatakannya jika dia terbaik di antara yang baik. Hingga kamu tidak perlu takut dia menyakitiku. Aku akan memukulnya sendiri.
Ardan. Akan selalu ada rindu untukmu. Akan ada selalu ucapan selamat malam dariku. Meski kutahu hanya hampa yang menjawabnya. Kosong yang menggema. Sunyi sebagai nyata atas apa yang sudah tiada.
Balasan suratmu dari Aluna.
***
"Mama! Siapa dia?"
Aku tersenyum menatap putri kecilku. Dengan sabar aku menariknya, menuntunnya agar duduk sepertiku. "Kenalkan. Dia om Ardan. Sahabat Mama dulu."
"Om?" Putriku nampak tidak mengerti. "Di mana dia?" tanyanya polos.
"Di surga. Tempat yang sangat indah."
"Om ganteng ya, Mama?"
Aku menggeleng. "Papa Putra lebih ganteng. Makannya Mama bisa punya putri cantik seperti kamu."
Aku memang tidak berbohong untuk masalah penilaian fisik. Putra lebih unggul dari Ardan. Namun, Putra juga tidak memiliki sesuatu yang Ardan tawarkan. Yakni, sebuah kenyamanan yang diciptakan Ardan untukku.
Tapi aku selalu bersyukur kepada semesta karena telah mengatur takdirku dengannya-suamiku.
Putra adalah akhir penutup kisahku. Meski kehadirannya bukan pada bagian awal hidupku. Putra dengan segala kesabarannya juga usahanya yang mencoba membuatku kembali mau membuka hatiku.
Aku tersenyum saat suamiku tiba. Putra. Pria yang tidak aku ketahui terbuat dari apa hatinya? Dia benar-benar begitu baik.
Ada satu percakapan yang membuatku tidak pernah melupakannya. Yakni saat aku mencoba membuatnya menyerah dengan cara menyakitinya melalui cerita tentang Ardan.
"Kamu tidak akan pernah bisa menggantikan tempat Ardan di hatiku, Put."
"Aku memang tidak berniat menggantikan tempatnya, Luna. Hati kamu adalah milikmu. Siapapun yang kamu izinkan mengisi ruang itu adalah hakmu. Namun berikan aku kesempatan untuk berada di sisi kamu. Aku tidak akan memintamu untuk melupakan dia. Tapi bisakah kita mencoba. Jika kamu tidak bisa mencintai aku. Maka aku yang akan mencintai kamu."
"Papa!"
Putra datang membawa sebuket bunga yang tentu saja dibawanya untuk Ardan. Karena hari ini adalah hari ulang tahunnya.
"Selamat ulang tahun, Ardan," kata Putra seraya meletakan bunga itu tepat bersandar pada nisannya.
Setelah membaca do'a kami pun pergi meninggalkan area pemakaman. Sejenak aku menatap langit yang sedikit bersih tanpa diselimuti awan.
'Selamat ulang tahun, Ar.'
"Mama! Apakah hari ini aku bisa makan egg tart dan juga pudding custard?"
"Kemarin kamu sudah memakannya, Naira."
"Mama ...." Putriku mulai memasang wajah merajuk dengan nada memohonnya. Aku tetap menggeleng tegas. Aku tahu putriku benar-benar pecinta dua dessert manis tersebut. Namun jika terus-terusan itu tidak akan baik.
Putra mengangkat tubuh Naira ke dalam gendongannya. Mereka berjalan mendahaluiku. Dari jarak beberapa langkah di hadapanku aku bisa mendengar pembicaraan mereka berdua. Di mana Putra membisikan jika mereka akan mengambil diam-diam di toko kue milikku.
Dasar ayah dan anak. Mentang-mentang pecinta dua makanan itu mereka malah bersekongkol satu sama lain.
"Mama bisa dengar rencana kalian!"
Naira tertawa dalam gendongan ayahnya. Sedang aku mengejar mereka berdua di belakang.
Kisah kita selayaknya Mendung bukan berarti Hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendung Bukan Berarti Hujan
Short Story"Untuk kamu yang mungkin tidak pernah tahu atau sekadar berpura-pura tidak pernah mau tahu, di sini aku duduk termenung memikirkan cara bagaimana menitipkan rindu ini untukmu." _______Aluna______ Amazing cover by @trooyesivan WARNING: BEBERAPA PART...