Sepatutnya kenyataan menyakitkan harus dileburkan hingga tak bersisa. Bukan karena ketidak mampuan hati untuk menerima kenyataan. Hanya saja, itu sebuah keharusan. Sekeras apapun kau ingin menggenggam, apabila semesta tak menghendakinya untukmu, berhentilah. Jangan memaksa, kamu tak perlu menambah patahan pada hatimu hingga menjadi serpihan.
Setidaknya itulah mantra yang terus kuucapkan pada hatiku sendiri. Pertemuan itu adalah jawab dari satu pertanyaan yang terus membuatku dilema.
Bagaimana jawabannya?
Masih sama. Kita tidak akan pernah bisa menempatkan rasa di waktu yang sama.
Namun kali ini bukan untuk sementara. Melainkan untuk selama-lamanya. Aku harus menerima sesakit apapun kenyataan itu. Bahwa pada akhirnya Ardan bukan tercipta untuk Aluna.
Ardan dihadirkan Tuhan untuk menemaninya di waktu sementara. Membangun bahagia serta percaya, mengisi hampa dengan tawa dan menutupnya menjadi derai air mata penuh luka. Ardan tidak untuk Aluna selamanya.
Aku menggigit bibirku dengan kuat. Menahan air mata yang terus menerus menerobos untuk membasahi pipi. Apa yang terjadi? Aku sangat ingin menanyakan ini semua. Satu bulan yang lalu dia adalah Ardan. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang aneh. Ardannya masih sama seperti 5 tahun yang lalu.
Tapi yang kulihat sekarang? Tubuh itu tak berdaya di dalam sana. Kepala dengan perban juga tubuh yang ditempeli alat penunjang kehidupan.
Kembali kenyataan meremas jantungku. Ardan tidak berdaya. Ardannya terus menutup mata. Ardannya tidak akan mungkin bisa kembali menutup mata.
Satu minggu yang lalu, kami dipertemukan lagi dengan kenyataan dirinya yang memberiku selembar undangan pernikahannya.
Lalu sekarang aku mendengar kabarnya dari Edvan secara tiba-tiba.
'Dan. Tidakah kamu menginginkan pernikahanmu bersama gadis yang kamu cintai beberapa hari lagi? Aku bisa menghadirinya, Dan. Aku janji akan menyaksikan kamu bahagia. Sekalipun aku harus merasakan sakit yang luar biasa. Setidaknya itu jauh lebih baik daripada melihatmu seperti ini.'
Kemudian aku merasakan sentuhan pada pundakku.
"Ardan kecelakaan. Motor yang dibawanya menabrak mobil--"
Aku menggeleng, tidak ingin mendengarkan. Edvan seakan mengerti. Dia membalikan tubuhku dan memelukku. Begitu juga kekasihnya yang memandangku sedih.
"Luna. Kita harus mengikhlaskannya."
Adakah pilihan lain selain kata menyakitkan ini?
"Dia jahat banget, Van. Demi Tuhan aku sangat membencinya." Aku menghapus kasar air mataku. Pandanganku berpindah padanya.
'Seharusnya kamu tidak usah kembali, Dan. Lebih baik kamu tidak kembali ke sini. Setidaknya aku tidak akan melihat kamu dengan kenyataan menyakitkan ini. Kamu bodoh. Apa ini cara yang kamu inginkan? Salam perpisahan untuk selama-lamanya? Aku ... tidak menyiapkan hatiku untuk ini.'
Aku menyeret paksa kedua kakiku meski rasanya aku tidak memiliki tenaga untuk semakin mendekatkan langkahku kepadanya.
Lagi, aku tak bisa menahan tangisku. Hatiku benar-benar terasa sakit sekali.
"Bangun, Ar! Seminggu lagi kamu harus menikahi kekasihmu. Kamu harus membuka mata. Aku tahu kamu kuat. Jangan nyerah, Ar. Aku mohon. Ada yang menunggumu. Ada yang menginginkinkanmu." Meski tak sebesar rasa inginku.
Dan segalanya berakhir tepat di hari ini. Selembar kertas ungkapan cinta dari Ardan hanyalah kenangan tentang perasaan Ardan remaja kepada Aluna yang masih mengenakan seragam SMA.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mendung Bukan Berarti Hujan
Cerita Pendek"Untuk kamu yang mungkin tidak pernah tahu atau sekadar berpura-pura tidak pernah mau tahu, di sini aku duduk termenung memikirkan cara bagaimana menitipkan rindu ini untukmu." _______Aluna______ Amazing cover by @trooyesivan WARNING: BEBERAPA PART...