Aku bercermin pada sebuah cermin besar dikamarku. Aku membayangkan masa lalu yang sudah lama terkubur. Yang sudah lama tertimbun, oleh puing-puing kehidupan. Ada bulir asin yang mengalir di pipiku. Pada hari itu, tidak seperti biasanya aku merasakan perasaan teramat kacau. Entah masalah apa yang kupikirkan, yang jelas sakitnya tak tertahankan.
Aku mencoba berdamai dengan diriku sendiri, namun gagal. Aku semakin kacau. Kacau tak terpantau. Lalu aku berbicara pada diriku sendiri bahwa aku tidak bisa di posisi ini terus.
Lalu segera ku ambil handphoneku dari atas kasur Doraemon itu, dan mencoba untuk bertanya pada Zahira lewat pesan WhatsApp. "Zah, gimana caranya biar hati jadi tenang?" itulah isi pesan yang ku kirim pada sahabatku itu.
Tak lama kemudian, Zahira membalas pesanku dan menjawab "Istighfar, lalu ambil wudhu"
Kebetulan waktu menunjukkan pukul 15.15, aku belum terlambat shalat gumamku.
Aku berwudhu, dan menunaikan shalat Ashar. Ada kenyamanan dan kedamaian yang tidak bisa terurai oleh kata, dan tidak bisa ternilai oleh harta.
Sebelum melepas mukenaku, aku bercermin dan merasa tak ada salahnya jika aku pakai hijab. Tapi aku belum siap! Tapi juga aku ingin ada sesuatu yang aku rubah dari diriku sendiri. Sesuatu yang menjurus pada kebaikan. Namun jika kulihat dari sisi yang lain, aku pun tidak mempunyai gamis dan khimar. Apa modal yang ku punya? Modal niat? Jika lingkungan tidak mendukung bagaimana? Apa yang harus aku katakan pada kedua orang tua ku? Apakah mereka akan menerima? Aku bingung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Hijrah ku
SpiritualApa yang harus aku lakukan kala ikhwan itu datang dan kembali menanyakan cinta? Dan apa yang harus aku katakan padanya kala ia menanyakan tentang pernikahan?