Aku, mami, papa sedang sarapan pagi itu. Sederhana saja, hanya ada sayur bayam, tempe goreng, sambal, beserta air putih tapi rasanya lebih nikmat jika bersama keluarga. Awalnya kami hanya sarapan biasa yang diwarnai dengan keceriaan, tiba-tiba saja mami membuka pembicaraan.
"Pa, anaknya teman papa yang waktu itu diceritakan sepertinya tidak usah dijodohkan dengan Khaira" ucap mami.
"Lho, kenapa? Dia agamanya bagus, keturunan nya terjamin. Memang kamu sudah punya calon, Khai?" tanya papa.
"Hah?" dengan wajah polosku aku hanya bisa terdiam. Sedikit menahan sakit kemarin malam, namun kuharap mereka tidak tahu kalau aku sedang kecewa gara-gara Angga.
"Euleuh euleuh papa teh gimana, ya makanya mami bilang seperti itu juga ya karena Khaira sudah punya calon suami atuh papa"
"Papa kok tidak tahu, Khai? Kenapa tidak cerita sama papa? Siapa emangnya?" tanya papa kembali dengan wajah yang sedikit senang karena menyangka aku sudah bisa memilih sendiri calon suamiku.
Belum habis makananku, aku sudah langsung berlari menuju kamarku.
"Khai, Khaira hey makanan kamu belum habis" teriak mami.
Bruk!!! Ku tutup pintu kamar dan ku kunci. Aku tahu mami dan papa pasti sedang membicarakanku. Tapi ya bagaimana lagi, aku sedang kecewa dan rasanya aku tidak mau lagi membahas Angga ataupun calon suami. Mungkin aku juga yang salah terlalu berharap banyak pada apa yang sejatinya belum tentu menjadi milikku. Tapi apakah aku salah juga dengan aku memperbaiki diri untuk mendapatkan yang terbaik? Mungkin memang aku harus merubah tujuan hijrah ku. Bukan karena siapa dan apa, tapi hanya karena Allah semata. Allah.
Ku hapus air mataku, aku buka perlahan pintu kamarku dan berusaha tegar menjelaskan semuanya pada mami dan papa.
Mami dan papa yang masih duduk di meja makan hanya bisa melihatku dengan tahapan khawatir, karena aku memperlihatkan mata sembabku pada mereka. Aku duduk kembali pada posisi awalku dimana tadi aku sedang makan. Kedua tanganku hanya bisa menutupi wajahku yang tertunduk.
"Kamu teh kenapa, nak? Ada masalah apa? Cerita dong sama mami dan papa" ujar mami sambil memegang bahuku dan mengusap punggungku.
Aku hanya menggelengkan kepala yang masih tertunduk ditutupi kedua telapak tanganku.
"Ayo cerita, apa perkataan mami dan papa tadi menyinggung kamu?" papa menatapku dengan penuh khawatir.
"Laki-laki yang Khaira suka sudah punya tunangan" jawab ku dengan terisak isak. Air mata yang ku kira bisa tertahan ternyata keluar lagi dengan derasnya.
"Memang siapa laki-laki itu? Ceritakan sama mami" ujar mami.
"Angga, mi. Yang dulu membantu Khaira dalam proses hijrah. Khai kira dia akan kembali kesini dan bisa dekat lagi dengan Khai. Tapi ternyata minggu depan dia kembali dengan membawa undangan pernikahan dia dengan Jenna" aku pun memeluk mami yang kala itu duduk disisiku. Mami mengusap kembali punggungku mencoba menguatkan.
"Sudah sudah. Mungkin itu memang bukan jodoh kamu, papa yakin banyak yang mau sama kamu, kamu ini perempuan baik-baik pasti banyak juga pria baik diluar sana yang..."
"Bukan itu masalahnya pa, ini masalah hati. Khai terlalu menyimpan harapan sama Angga sebelumnya dan Khai sekarang kecewa"
"Ngomong-ngomong Jenna itu bukannya yang dulu pernah mampir kesini sama Zahira?" tanya mami lagi.
Aku mengangguk.
Papa berdiri dari kursinya dan berkata,"Besok papa akan suruh teman papa dan anaknya datang kesini. Kamu siap-siap karena siapa tahu kamu bisa cocok sama dia" papa pun menelpon teman yang dimaksud dan setahuku mereka bisa datang besok.
***
Hari itu datang, namun waktu masih menunjukkan pukul 02.48 dan ku putuskan untuk shalat tahajjud dan istikharah. Dalam istikharah ku, dengan sungguh sungguh aku berdoa pada Allah Wahai Allah, jika yang papa maksud itu adalah jodohku, mudahkanlah dan jadikanlah hatiku ini ikhlas. Tapi jika bukan, maka janganlah ada rasa pengharapan yang sama seperti sebelumnya.
Waktu menunjukkan pukul 10.00, teman papa pun datang membawa istri dan anaknya. Aku tidak merasakan getaran dalam hati saat pertama kali melihatnya, dan aku beranggapan mungkin dia bukan jodohku. Tapi aku tidak mau menduga-duga dan tidak ingin sok tahu dengan takdir Allah.
"Nah, Khai ini om Rendi dan tante Sita" ujar papa.
"Dan ini Rizal, yang akan papa kenalkan sama kamu" Rizal pun tersenyum padaku. Aku hanya membalas sekedarnya saja dan tidak ingin terlalu berharap. Kalau-kalau nanti aku dikecewakan lagi, rasanya tidak akan sesakit yang terdahulu. Lebih baik aku biasa saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Hijrah ku
SpiritualApa yang harus aku lakukan kala ikhwan itu datang dan kembali menanyakan cinta? Dan apa yang harus aku katakan padanya kala ia menanyakan tentang pernikahan?