Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu. Aku sudah lulus dengan gelar S1 ku. Dan tenang saja, aku masih menggunakan khimar ku. Jika ditanya apakah aku masih berteman dengan Zahira, Angga, dan Jenna? Jawabannya masih. Namun hanya dengan Zahira aku sering bertemu.
Untuk Angga dan Jenna, ku dengar mereka memiliki bisnis masing-masing diluar kota. Aku juga memiliki bisnis yang sama dengan Zahira dan kita sendiri yang mengelola.
Untuk kedua orang tua, mereka mulai menerima perubahan hijrah ku.Sore yang cerah, ditemani kicauan burung yang romantis. Aku duduk dibangku depan rumahku sambil menikmati keagungan Allah. Tiba tiba mami menghampiriku dan berkata
"Nak, usia kamu sudah 24 saja ya"
"Iya, mi. Tidak terasa sudah dewasa. Khaira masih merasa menjadi bayi kecilnya mami sampai sekarang." ucapku.
"Mami mau bertanya sama kamu, tapi kamu jangan tersinggung ya"
"Tanya aja, mi"
"Kamu teh sudah punya calon suami? Kalau belum mah ada anaknya temen papa kamu yang ingin taaruf dengan kamu"
Seketika aku langsung memandang mami.
"Ada sih, cuman ya Khaira gak tahu dia suka sama Khaira atau enggak. Dia shaleh dan sangat menghargai perempuan." ujarku seraya memandang langit orange dan tersenyum.
"Eh, sudah ada? Siapa? Kok sama mami mah belum pernah cerita?"
"Ada deh" ujarku sambil tersipu malu dan meninggalkan mami kedalam rumah.
Malamnya, selepas shalat isya aku membuka instagram ku dan mencari kembali akun Angga yang sudah beberapa tahun aku tidak tahu kabarnya.
"Wah ada" pekik ku dengan penuh rasa senang. Aku klik namanya dan ingin melihat bagaimana perubahan Angga selama beberapa tahun ini. Saat ku buka...
Aku melihat Angga memposting pertunangannya dengan seorang wanita yang tak lain adalah teman kami juga. Jenna. Kecewa? Sudah pasti. Tapi aku coba beristighfar dan mencoba menahan air mata yang sejatinya sudah menetes. Aku hanya bisa bertanya pada Tuhan kala itu, "Ya Allah, aku sudah mencoba lebih baik setiap harinya. Aku tinggalkan hal-hal yang membuatMu cemburu, tapi kenapa aku malah dibuat cemburu dengan kesakitan ini?" ujarku sambil mataku terus menerus mengeluarkan air mata.
Mungkin aku juga yang salah. Aku berubah hanya karena ingin mendapatkan jodoh yang baik pula. Bukan karena ingin lebih dekat pada Allah. Mungkin saja Allah ingin aku merasakan sakitnya pengharapan yang tidak sepantasnya aku harapkan berlebih. Sangat sangat kecewa dan sakit. Tapi aku coba menerima karena inilah hidup dan kenyataan.
"Wahai Allah, jodohku siapa?" tanya ku dalam hatiku. Meski tak kuasa menahan rasa sakit, aku coba ikhlas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Hijrah ku
SpiritualApa yang harus aku lakukan kala ikhwan itu datang dan kembali menanyakan cinta? Dan apa yang harus aku katakan padanya kala ia menanyakan tentang pernikahan?