"Eh, itu kursinya geser kanan dikit Khai biar lebih nyaman lagi. Mertua dan suami kamu mau kesini besok" mami dengan repotnya terus menerus berkomentar.
"Calon, mi" ucapku datar.
Kulihat papa hanya terdiam dengan sedikit lamunan.
Aku hampiri papa dan mencoba bertanya apa yang sebenarnya papa pikirkan.
"Ada apa, pa?" tanya ku.
"Eh, tidak. Papa agak capek sedikit, jadinya ya melamun dan berkhayal" jawabnya dengan senyum yang sedikit menutupi keadaan.
"Papa tidak boleh bohong sama Khaira. Khai tahu apa yang papa rasakan. Pap cemas, khawatir, gelisah kalau kalau anak papa ini akan menjadi korban harapan palsu laki laki lagi"
"Insyaallah Azmi lelaki baik pa, dia shaleh, faham agama" lanjutku.
"Tetap saja. Rizal pun begitu. Dia faham agama, tapi kelakuannya seperti orang tidak beragama. Menyakiti hati orang lain misalnya."
"Ehh, sudah atuh. Kita teh tidak usah lihat masa lalu. Yang perlu kita pikirkan sekarang, bagaimana caranya agar rumah ini bersih untuk besok" pekik mami.
Entah kenapa, semakin hari aku semakin yakin pada Azmi. Semakin tidak sabar menanti datangnya hari suci itu. Hari dimana dua insan dipersatukan dihadapanNya.
***
Sabtu,
"Assalamualaikum"
Tok.. Tok.. Tok.."Waalaikumussalam" ku buka pintu itu, dan ternyata benar. Azmi datang membawa keluarganya.
Aku merasa tidak dapat berbicara apa apa. Hanya tatapan kosong seakan tak percaya, namun ini nyata.
"Khai?" tanya Azmi sambil melambai lambaikan tangannya didekat wajahku.
"Eh, silakan masuk, Mi, Bu, Pa"
Mami pun ikut menyambut kedatangan mereka, begitu pun dengan papa. Seperti pertemuan pada umumnya, kami saling bertanya soal kegemaran, makanan kesukaan, hal yang disukai dan tidak disukai, pendidikan terakhir, dan lain semacamnya.
Namun untuk proses, tidak hanya sampai pada perkenalan saja, Azmi mengutarakan kalau ia memang benar-benar yakin terhadapku dan juga hari ini ia sekaligus melamarku dan akan menentukan tanggal pernikahan.
Sebagai seorang wanita, sontak rasa kaget, terharu, senang, tidak percaya, dan lain sebagainya bercampur baur menjadi satu.
"Mahar apa yang nak Khaira inginkan?" tanya om Hamid padaku.
"Saya hanya ingin Azmi melantunkan surat Ar-rahman" jawabku tertunduk malu.
"Hanya itu? Tidak apa apa nak, ucapkan saja sekarang, agar tidak ada kekecewaan nantinya" ujar tante Haitun.
"Insyaallah itu adalah mahar paling indah menurut saya"
"Jadi, kapan tanggalnya?" tanya papa dengan ekspresi bahagia tanpa henti.
"Kalau 2 minggu ke depan bagaimana? Apakah Khaira sudah siap?" Azmi memandangku menanti jawaban. Guratan wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
Aku masih tertunduk. Perlahan ku angkat kepalaku dan berkata,
"Saya siap"
"Alhamdulillah" Mami, papa, om Hamid, tante Haitun, dan juga Azmi mengucap syukur bersamaan.
***
Didepan cermin besar, kulihat ada seorang perempuan yang sedang tersenyum jatuh cinta. Hmm bukan, bukan. Bukan jatuh cinta, lebih tepatnya kepada kata BELUM. Ya, belum jatuh cinta, sebelum akad diucapkan tidak boleh ada cinta berlebihan. Pipinya terus mengembang bersama senyuman manis diwajahnya. Ya, dia adalah Khaira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Hijrah ku
SpiritualApa yang harus aku lakukan kala ikhwan itu datang dan kembali menanyakan cinta? Dan apa yang harus aku katakan padanya kala ia menanyakan tentang pernikahan?