27. Menjaga Jarak

556 26 0
                                    

Kepulan asap rokok itu terus laki-laki itu hembuskan. Seorang laki-laki yang kini memandangnya hanya menggeleng. “Gue bisa ngomong sama lo sebentar?”

Theo menautkan alisnya. Kesadarannya masih terkumpul, alunan musik DJ yang memenuhi ruangan itu terus membawa Theo untuk terus menikmati malam. Theo menjauhkan rokoknya yang terselip di antara jari telunjuk dan tengahnya. “Ada apa, Bang?”

Lelaki yang mengajak Theo tadi hanya menggerakkan kepalanya ke arah luar club, mengajak Theo untuk keluar dari tempat ini sebentar. Theo hanya mengangguk menyetujui.

Keduanya sampai dilahan parkir club. Dimana mobil dan motor berbaris rapi. Theo menghela napas bersamaan keluarnya asap rokok dari hidungnya.

“Lo tentu tahu kalau Daffa itu masih punya hutang sama gue. Kenapa Daffa sekarang jadi jarang buat kesini?” tanya lelaki itu.

Theo menaikkan sebelah alisnya. Sebenarnya dia malas ikut campur urusan Daffa, yang notabennya hanya teman sekolah. “Iya, gue tahu. Tapi, gue gak tahu kenapa dia gak pernah kesini lagi. Gue tawarin rokok aja dia nolak,” ucap Theo.

Lelaki itu mengangguk, “Lo tahu kelemahan dia?”

Pertanyaan yang keluar dari mulut lelaki itu kini cukup membuat Theo berpikir keras. “Barusam kemarin gue ditonjok sama Daffa,” balas Theo, menunjukkan bekas yang sedikit membiru diujung bibirnya, dan dia perlu banyak jawaban untuk mempercayakan Mamanya dengan jawaban yang dia berikan.

“Kelemahan Daffa ada di Alya,” sahut Theo. “Kalau lo mau, gue bisa ngehancurin cewek itu, supaya Daffa kepancing.”

Senyum miring tersungging sempurna dibibir Rino. “Asyik ternyata kerjasama sama lo,” Rino tertawa.

– ••• –

Di sekolah yang cukup luas ini tentu saja tidak mudah untuk mencari seorang Alya. Daffa sudah hampir berkeliling sekolah. Tetapi tetap saja tidak menemukan perempuan itu. Memang tidak ada yang penting, hanya saja dia ingin bertemu Alya.

Begitu melihat Rista yang lewat di taman dengan buku-buku ditanganya, Daffa segera berlari dan bertanya.

“Liat Alya gak?”

“Alya di perpus, gue baru balik dari sana. Tapi, dia lagi sibuk untuk nyiapin materi PIK-R.” jawab Rista seadanya. Daffa mengangguk mengerti.

“Hm, menurut gue, sebaiknya lo jangan deketin Alya dulu,” ucap Rista lagi. Membuat Daffa mengernyit. Dan itu cukup membuat Rista mengerti.

“Itu cuman saran gue. Hatinya lagi gak baik-baik aja. Ngerti 'kan?” jelas Rista memandang Daffa tersenyum.

Laki-laki di depannya masih terpaku dengan perkataannya barusan. Namun, Rista hanya terkekeh dan menepuk bahu Daffa beberapa kali dan meninggalkan laki-laki yang masih membeku dengan pikirannya itu.

– ♦♦♦ –

Alya terpaku ketika ia tepat berhenti di sebuah tangga sekolah. Padahal selangkah lagi dia sampai di lantai dasar sekolah. Sayangnya kejadian yang dia lihat ini benar-benar membuatnya membeku.

"Daffa, aku itu cuman minta temenin ke salon sore ini, masa gitu aja kamu gak bisa!" decak Atila dengan manja memeluk lengan kiri Daffa.

Daffa mendesah sambil mencoba terus melepas tangan Atila dari lengannya, "Gue udah bilang. Gue. Gak. Bisa. Apa lo masih gak paham juga?" Daffa memberikan tatapan tidak sukanya, masih terus coba melepaskan tangan Atila.

Bidadari Tak BersayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang