17. Luka Lagi

602 29 2
                                    

Beberapa saat hanya terdiam memandangi langit-langit biru, Daffa membuka obrolan antara dirinya dan Alya. Perempuan yang hampir satu jam ini menemaninya di atas gedung tua setengah jadi.

"Lo cewek, mungkin lo tahu," ucap Daffa. Ia memperbaiki posisi duduknya, menghadap ke Alya.

"Tau apa?"

"Sebenarnya cewek itu suka apa aja?" tanya Daffa. Matanya jauh menerawang ke luasnya pemandangan di depannya.

Alya berdehem, "Banyak sih. Tapi yang lebih sering itu cewek yang suka mal sama yang nggak. Cewek yang suka shopping dan nggak, cewek yang suka barang-barang bagus dan cewek yang suka barang sederhana tapi berkualitas," jelas Alya.

"Kalau lo yang mana?"

Pertanyaan Daffa membuat Alya menarik ujung bibirnya sekilas. "Gue nggak suka mal, nggak terlalu suka shopping, suka barang-barang biasa tapi berkualitas. Intinya nggak harus limited edition, tapi berkualitas aja udah. Gue lebih suka diajak jalan-jalan keliling taman daripada di ajak ke mal, kecuali nonton." Alya berucap.

"Oh ya, gue suka toko buku, karena disana gue bisa nemuin berbagai novel keren, pokoknya kalau ditanya mau shopping atau beli novel, gue lebih milih beli novel deh."

Daffa mengangguk mengerti.

"Lo mau beliin gue novel ya, Daf?" tanya Alya dengan mata yang berbinar-binar.

Daffa tertawa, "Kepedean lo, ntar deh gue beliin ya, kalo inget."

Alya mencebikkan bibirnya. Matanya kembali menatap langit yang mulai menghitam. Menandakan langit akan menurunkan hujan sebentar lagi.

"Al?"

"Hm?"

"Atila jenis cewek yang gimana ya?"

Pertanyaan itu membuat Alya membeku di tempat. Matanya yang memancarkan semburan kebahagiaan kini redup, lagi.

"Gue mau nembak dia besok, tapi bingung mau gimana? Menurut lo yang bagus gimana? Lo 'kan cewek, pasti lo tahu."

Alya menarik napas dalam-dalam. Matanya yang kian memanas itu ia kedip-kedipkan beberapa kali. Berdoa semoga hujan cepat turun, supaya Daffa nggak akan tahu bahwa ia menangis kalau nanti hal itu terjadi. Agar Daffa tidak tahu bagaimana sesaknya yang Alya rasakan.

"Perlu lo tahu, bahwa semua cewek itu nggak sama, Daff."

Hujan turun. Membuat Alya dengan bebas menurunkan air matanya tanpa takut Daffa mengetahuinya. Alya membeku memandang laki-laki yang sibuk mengurusi hujan.

Nggak lama Daffa menarik tangannya, membawanya agar meninggalkan tempat ini segera.

〽〽〽

Pukul 19:48 WIB.

Daffa melirik sekali lagi jam di tangan kirinya. Lelaki itu menghela napas, kehabisan akal untuk berpikir lolos dari kedua lelaki berbadan tegap itu.

"Tunggu apa lagi, bayar!" bentak lelaki dengan rambut panjangnya.

Masalahnya Daffa tidak punya uang sekarang, kalaupun ada dia sangat pingin membelikan ikat rambut satu aja untuk preman ini. Matanya risih aja karena ngeliat rambut ikal lelaki itu. Gayanya yang macam anak yang baru lulus SMA, diberi kebebasan untuk berambut gondrong, lama-lama Daffa ingin muntah melihatnya.

"Nggak ada duit, Bang. Lagian ngasih waktu cuman tiga hari. Gue nggak bawa apa-apa," jawab Daffa malas-malasan.

"Ah! Gue nggak peduli! Cepat bayar sekarang gimana pun caranya!" bentak preman yang rambutnya sedikit rapi.

Daffa mendengus, Bang Rino kirim orang gini banget, nggak ada gitu yang rapi dikit orangnya.

"Woi, jangan bengong!" pekik lelaki berambut gondrong itu lagi.

Daffa bergeming sebentar. Untung aja dia nyimpan motornya di parkiran belakang supermarket ini.

"Tunggu bentar ya, Bang. Gue ambil duit dulu di ATM," kata Daffa dengan ramah kali ini.

"Jangan lama!"

Setelah diberi kebebasan Daffa langsung melesit ke dalam ruang ATM. Tanpa menunggu lama lelaki itu merogoh ponselnya didalam saku, menekan beberapa nomor yang sudah ia hapal luar kepala.

Tuut ... Tutt ...

"Lama amat, kampret!"

Nada sambung ketiga telepon itu di jawab.

"Kenapa, Peng?"

"Dan, lo dimana? Gue di kejar anak buah Bang Rino. Sekarang gue ada di ruang ATM dekat super market. Gue nggak mau tahu lo kesini tolongin gue, gimana pun caranya."

"Oke, share lokasi lo." Yordan memutus sambungan telepon.

Menunggu kira-kira hampir sepuluh menit di ruang ATM dengan perasaan was-was, akhirnya Daffa menghela napas lega ketika suara alarm mobil polisi terdengar tepat berhenti di luar ruang ATM.

Terdengar sesekali kedua preman yang membentak Daffa tadi memberontak. Namun, hanya berangsur beberapa menit mobil itu kembali melaju menjauh dari super market.

Daffa terduduk dengan nyaman. Setidaknya dia selamat untuk hari ini. Hari ini. Belum tentu besok dan lusa.

Pintu ruang ATM terbuka, menampilkan Yordan dengan wajah paniknya.

"Dapeng! Lo nggak diapa-apain 'kan sama preman cabe-cabean itu?" tanya Yordan panik. Ia membantu Daffa berdiri.

"Lebay, nggak papa lah. Lu lama amat, sih." Daffa berdecak kesal.

"Masih syukur lu di tolongin malah ngatain gue lebay. Udah ah gue mau pulang!" Yordan merajuk, lelaki itu lebih dulu keluar dari ruang ATM yang sedang sepi. Sambil menghentakkan kakinya.

"Tunggu, Dan!" pekik Daffa. "Dasar banci salon mainnya ambekan!"

〽〽〽

Setelah menutup pintu rumahnya, Alya masuk dan mendapati Mamanya sudah berdiri di dekat sofa dengan senyum yang mengembang. Alya hanya membalasnya dengan senyum tipis. Perempuan itu mencium punggung tangan Yani, lalu berjalan menaiki tangga.

"Alya!" panggil Yani, "Mama mau nanya."

Alya menghentikan langkahnya lalu berjalan menghampiri Mamanya yang tengah memandangnya penuh arti.

"Ada apa, Ma?" tanya Alya menautkan alisnya.

"Kamu tadi pulang dianter Daffa? Kok cemberut? Berantem ya sama Daffa?" tanya Yani tersenyum, mengusap sekali pipi Alya.

Alya menggeleng cepat, "Nggak kok, Ma."

"Yang namanya pacaran itu pasti ada masalah, kamu itu harus sabar dan percaya sama Daffa, kalau mau kalian langgeng terus," ucap Yani membuat Alya melongo.

"Siapa yang pacaran, Mama?" tanya Alya.

"Lho, bukannya kamu pacaran ya sama Daffa?" kaget Yani. Sepengetahuannya anaknya ini menjalin sebuah hubungan dengan anak Imel—Bunda Daffa.

Alya menggeleng cepat, "Siapa bilang?"

Yani mendengus, "Kata tante Imel, udah jangan tutupin gitu, Mama paham kok."

"Jadi tadi Mama cuman mau nanya itu aja?" Alya mendengus lelah.

Yani menggeleng, "Mama sebenarnya udah lama pengen bilang ini ke kamu."

Alya menautkan alisnya bingung. Ia lamat-lamat memandang Yani.

"Kamu mau ketemu Papa?"

_________________________________________

Jangan lupa vote, komentar ya!

Bidadari Tak BersayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang