"Apa sekarang?" tanya Alya setelah keduanya hanya diam memandangi pemandangan sekitar gedung tinggi. Hampir sepuluh menit hanya diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing, hal itu membuat Alya jengah sendiri. Ia tidak bisa seperti ini, ia harus bisa mengutarakan perasaannya, kegelisahannya, dan kekhawatirannya pada Daffa.
"Daf, aku punya satu permintaan lagi." Alya tersenyum tipis sambil memperbaiki posisi duduknya supaya berhadapan dengan Daffa.
Daffa menoleh, ikut memperbaiki posisi duduknya. Ia menghela napas lalu menggenggam tangan Alya. "Jangan buat aku memilih, harus nyakitin kamu lagi, atau janji dengan sesuatu yang masih abu-abu."
"Tapi—"
"Aku akan turutin semua mau kamu, kecuali berjanji."
Alya menghela napasnya sambil mengalihkan perhatiannya ke lain sebelum kembali pada Daffa lagi. "Aku cuman pengen kamu berubah, seperti dulu. Kenapa kamu nggak ikut rehabilitasi aja?"
Daffa menggelengkan kepalanya, dia sudah cukup mendengar semuanya dari Rian—salah satu temannya yang juga bernasib sama. Rian berkata kalau rehabilitasi itu bukan suatu hal yang mudah. Menyakitkan, Daffa bisa berubah sendiri. Tanpa rehabilitasi atau apapun!
"Aku akan berubah dengan cara aku sendiri. Kamu tenang aja," ungkap Daffa, ia tersenyum ke arah Alya supaya gadis itu tenang.
Alya tidak merespon, ia hanya diam. Bukan ini maunya, dia mau yang terbaik untuk Daffa. Bukan ingin menyiksa laki-laki itu.
"Besok kamu sekolah?"
"Kamu mau aku sekolah?" tanya Daffa.
Alya mengangguk senang, tentu saja dia ingin Daffa kembali sekolah. Kembali melakukan rutinitasnya seperti biasa.
"Lihat besok," sahut Daffa.
"Kamu sekolah?" tanya Alya kurang yakin dengan pernyataan Daffa.
"Nggak." Daffa terkekeh. Alya merubah ekspresinya menjadi sebal. Ia memutar wajahnya ke lain arah.
***
Dinginnya angin malam tidak membuat keduanya bergerak untuk masuk atau pulang ke rumah masing-masing. Kedua laki-laki itu masih setia menyesap kedua rokoknya sambil duduk di dalam mobil dengan kaca jendela yang terbuka lebar.
"Apa yang lo lakuin selanjutnya?" tanya Fartan, ia memandangi Daffa yang bersandar dengan nikmat. Pandangannya lurus ke depan.
"Menurut lo?" Daffa menghembuskan napas bersamaan dengan asap rokok yang keluar dari mulutnya.
"Lo cuman punya dua pilihan, menyerah dan meninggalkan semuanya, artinya lo akan kehilangan semua yang lo punya, atau berubah dengan tetap memiliki semuanya."
"Gue nggak punya siapa-siapa lagi, Tan. Mereka semua pengen gue berubah, gue yakin lo juga sama."
Fartan mengangguk, "Kalau lo memang nggak sanggup, pergi, tapi sebelum itu, perbaiki semua yang bisa lo perbaiki." Fartan menoleh dan tersenyum. Ia tulus mengatakan itu, bukan untuk apa-apa atau sesuatu yang ia inginkan.
"Gue mau pergi. Sebelum itu, gue akan pulang malam ini." Daffa membuang puntung rokoknya ke sembarang arah. Kakinya yang sejak tadi ia letakan di dashboard mobil kini ia turunkan.
"Yakin?" tanya Fartan. Ia kurang yakin dengan jawaban Daffa yang kurang jelas.
Daffa mengangguk dengan sangat yakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tak Bersayap
Teen Fiction[MASUK DAFTAR PENDEK WATTYS 2018] Teruntuk kamu, Daffa. Tidak peduli seberapa buruk orang menilai kamu. Kamu tetaplah kamu, seseorang yang berhasil menarik perhatianku. Kamu tidak tahu, mungkin tidak akan peduli. Meskipun tahu, apa yang akan kamu la...