41. Sebuah Pilihan

505 29 0
                                    

Yordan mengusap rambutnya frustasi. Entah kenapa dia jadi ikut pusing, padahal ini juga bukan masalahnya. “Kenapa lo nembak Alya dulu sih kemarin?”

“Apa salahnya, sih?” tanya Daffa keheranan, dia pikir masalahnya saat ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Alya.

“Kelarin dulu kek masalah lo sama Bang Rino. Barang yang lo pake, gue tahu memang susah, tapi—” Yordan mendesah, entah bagaimana lagi ia ingin melanjutkan kata-katanya.

“Gue tahu, gue gak seperti lo yang dengan mudah ningglin barang itu. Nyatanya sekarang susah,” curhat Daffa, laki-laki itu ikut mengacak rambutnya frustasi. Hidupnya semakin lama semakin memburuk baginya.

“Itu maksud gue kenapa gue gak mau lo terlalu gila, lo gak mau dengerin kata-kata gue dulu.” Yordan kembali duduk di samping Daffa. Awalnya dia berdiri saking kesalnya dengan kabar yang Daffa berikan.

Daffa menunduk, memandangi dirinya. Niatnya untuk berubah ternyata tidak segampang yang dia pikirkan. Meninggalkan barang itu ternyata tidak langsung membuatnya benar-benar berhenti. Nyatanya, dia masih membutuhkannya, masih menggunakannya, untuk menghilangkan rasa sakit yang aneh pada tubuhnya.

“Hidup itu pilihan, dan pilihan itu cuman ada dua,” ungkap Yordan memandangi Daffa, “Lo pilih berubah atau tetap seperti ini?”

***

Daffa menghela napasnya, ia sudah hampir tiga puluh menit berdiri di depan rumah Alya. Tidak mengetuk pintu rumah bahkan menekan bel atau yang lainnya.

Langkah seseorang terdengar dari dalam rumah mendekati pintu. Beberapa menit kemudian pintu terbuka, menampilkan Alya yang menggunakan baju tidurnya.

Gadis itu terkejut, dipandanginya Daffa dari atas sampai bawah yang sudah acak-acakkan. Seragam sekolahnya masih membungkus tubuhnya bersama jaket yang menutupi keduanya. Awalnya ia ingin duduk di teras bersantai, tetapi malah menemukan Daffa di sini.

“Lo belum pulang ke rumah? Kapan lo sampai di sini?” tanya Alya, ia berjalan mendekati Daffa yang tersenyum simpul memandanginya.

“Tiga puluh menit yang lalu,” sahut Daffa.

“Kok, nggak telfon atau kasih tahu gitu? Lo kenapa?” tanya Alya dengan wajah cemasnya. Dia memandangi Daffa kasihan, Daffa menggeleng pertanda dia baik-baik saja.

“Daffa, ayo masuk!” ajak Alya, namun Daffa malah menahannya saat Alya sudah mau melangkah.

Alya menoleh, memandangi Daffa yang nampak begitu rapuh kelihatannya. “Temenin aku sebentar.”

Alya menganggukkan kepalanya mengikuti Daffa yang duduk di teras rumahnya dengan masih menggenggam tangan mungilnya.

“Lo belum pulang ke rumah, ya? Kenapa? Berantem sama Tante Imel?”

Daffa menggeleng, memandangi Alya yang duduk di sampingnya dengan wajah khawatir, khas Alya sekali. “Aku baik-baik aja.”

“Kalau lo baik-baik aja lo gak akan kayak gini,” potong Alya, “Lo pulang ya, Tante Imel pasti khawatir banget sama lo.”

Daffa menarik napasnya lalu menghembuskannya lagi. “Kalau nanti tiba-tiba aku pergi, kamu harus cari orang yang lebih baik lagi, oke?”

Alya mengerutkan keningnya. Aneh mendengar pernyataan Daffa. Baru juga beberapa hari ini jadian dan Daffa sudah mengigau aneh. “Apaan, sih? Lo gak lagi ngigo ‘kan?”

Daffa menggeleng, “Aku baik-baik aja.”

“Tapi keliatannya lo—”

“Kamu,” sanggah Daffa, meminta agar Alya mengganti lo-gue menjadi aku-kamu, layaknya remaja yang menjalin kasih pada umumnya.

Bidadari Tak BersayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang