13. Special Part: Ayam Potong

4.1K 228 54
                                    

Jangan baca part ini pas lagi makan ya, mungkin entar malah nggak nafsu lagi. Mungkin doang kok, tergantung yang baca aja sih. Kedengerannya sih enak yah, ayam potong. Boleh dijadiin ayam tepung tuh *abaikan

------------

Cristie POV

"Kamu nolak perasaan dia ke kamu?" tanyaku padanya yang sedang menatap kosong sebuah botol air mineral.

"Ya begitulah. Aku ... bingung," jawabnya pelan.

Aku dan Kay tengah duduk di taman dan lebih memilih tempat yang agak sepi. Ini sudah waktunya pulang ke rumah, tapi dia ingin tinggal sebentar sambil mencari angin segar. Masih banyak siswa-siswi yang belum pulang ke rumah masing-masing, jadi aku menuruti keinginannya itu.

Kay menceritakan padaku tentang kejadian sewaktu dia pergi ke toilet dan akhirnya bertemu dengan Sarah yang basah kuyup di dalam salah satu bilik. Dan ... juga tentang perasaan yang dimiliki Sarah kepadanya.

"Kamu beneran gak mau pulang sekarang? Baju kamu basah, gimana kalo nanti masuk angin? Pulang aja yuk."

Dia menggeleng. "Aku kasar yah? Akhirnya kamu tahu sesuatu yang ... berbahaya dalam diriku."

Aku tak mengerti maksud perkataannya. Berbahaya? Ughh ... Begitukah?

"Apa maksudnya dengan 'berbahaya'? Kamu berbahaya?"

Dia menatapku sebentar lalu menatap langit di atasnya. "Iya, aku berbahaya. Kalo lagi marah, aku bakalan merusak apa aja yang ada di sekitarku," dia berhenti lalu melanjutkan, "tanpa ampun."

Aku hanya bisa diam, apa yang dia katakan tidak benar, bukan? Kay tidak seperti itu!

"Kamu bercanda, kan? Kamu nggak kayak gitu, Kay. Aku kenal kamu dari kecil, kamu nggak pernah marah. Bahkan ke aku!"

Dia mengenggam tanganku. "Kamu nggak kenal aku, Cristie. Gak benar-benar kenal aku."

Aku menatap jauh ke dalam matanya. "Aku nggak kenal kamu? Kalau begitu, buat aku bisa mengenalmu lebih jauh. Aku pengin kenal kamu, dalam artian yang sebenarnya, Kay."

"Kamu salah, aku nggak bisa membuat kamu mengenalku. Mengenali seseorang harus dari dalam diri sendiri, bukan menyuruh mereka buat mengenalkan diri ke orang yang ingin mengenal."

Ya, dia benar. Aku harus mengenal dirinya dalam artian yang lebih dalam, tentunya dengan tulus.

Aku tersenyum padanya, dia membalas dengan senyum manisnya. "Aku akan mencoba mengenalmu, Kay. Aku akan terus berusaha."

Dia mengangguk. "Kamu ngga papa, kan? Maaf tentang kelakuanku yang ter--"

Aku membekap mulutnya, menyuruhnya diam, dia kelihatan terkejut. "Aku udah maafin kamu, dan seharusnya aku yang minta maaf. Aku terlalu kasar ke kamu waktu itu," kataku.

Dia menggelengkan kepalanya, kemudian kembali menggengam tanganku erat. "Aku ... Mmm ... A-aku ..."

"Ck, ternyata seorang Kay bisa gagap juga, yah?"

"Ya bisalah, aku bakalan gagap kalo lagi gugup, karena ada kamu di dep--"

"Kay?" panggil seseorang dari belakang sambil menutup matanya menggunakan kedua telapak tangan.

Kay melepaskan pegangan tangannya padaku dan memutar kepala ke belakang. Aku hanya bisa diam, gadis sialan itu datang lagi. Bisakah sehari saja dia membiarkanku menghabiskan waktu bersama Kay?

"Kamu udah makan?" Tangannya bergelayut dengan manjanya di lengan Kay.

"Udah," jawab Kay.

"Temenin aku yuk! Aku pengin ke mall."

Apa katanya? Menemani? Huh, aku tahu, dia sengaja mencari masalah denganku. Lagi pula tanganku ini sudah gatal ingin menjambak rambut lurusnya itu. Sabar tanganku, kita pasti akan bersenang-senang. Kita hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja, masalah waktu itu gampang.

"Maaf, Lexa. Tapi aku udah mau pulang, udah ditunggu Mama soalnya. Aku duluan ya," kata Kay sambil melepas tangan perempuan itu darinya, kemudian menarik tanganku. Kami berjalan menjauh.

Gadis itu menatapku tajam, kemudian tersenyum sinis. Dia berjalan mundur ke belakang lalu hilang di balik pepohonan. Apa yang akan dilakukannya sekarang? Sudahlah, aku tak perlu memedulikannya.

Kami sampai di parkiran, Kay langsung duduk di kap mobilku sambil memasang headset. Dia menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, menyuruhku duduk, aku menurutinya. Dia melepas salah satu headset-nya lalu memasangnya di telingaku, lagu berjudul Penantian Berharga milik Rizky Febian mengalun indah di indra pendengaranku.

Penantian? Ah, penantianku padanya. Apa dia sedang bahagia? Apa yang membuatnya bahagia? Terlalu banyak pertanyaan, Cristie! Coba saja tanyakan padanya secara langsung! Ugh, hatiku menantang rupanya. Tapi aku tak akan melakukannya, dia akan bercerita padaku jika ingin.

Dia tersenyum kepadaku lalu meletakkan kepalanya di pangkuanku. Dia menyentuh pipiku lalu tertawa lucu. Kenapa dia? Aku gemas sekali. Aku menarik hidungnya pelan, dia memberi balasan dengan mencubit lenganku.

Aku mengusap rambutnya sambil memejamkan mata.

"Hahhhh.... Aku ngantuk, pulang yuk," katanya sambil turun dari pangkuanku.

"Iya," jawabku.

Aku membuka pintu mobil, kulihat sesuatu tergeletak di tempat duduk kemudi. Bentuknya aneh, aku langsung menjerit sekeras-kerasnya.

Kay berlari mendekat lalu menatapku dengan tatapan bingung, aku berlindung di balik tubuhnya sambil menunjuk-nunjuk tempat duduk kemudi.

"Kenapa? Kenapa jerit-jerit begitu?"

Dia mengikuti arah telunjukku dan terkejut tapi tak menjerit sepertiku.

"Itu apa?" tanyaku.

Dia melihatnya dengan seksama, mendekatinya lalu menutup pintu, dia menatapku dengan rasa cemas. "Itu darah!"

"Apa?! Beneran? Tapi siapa yang nempatin di situ? Itu apaan sih, kok keliatan ada bulunya?"

Apa itu? Aku hanya melihatnya sekilas tadi. Sepertinya sesuatu yang berbulu, penuh darah dan ... sangat menjijikkan!

"Aku nggak tahu, itu... err..."

"Apa? Itu apa?" tanyaku ketakutan.

Dia memegang kedua bahuku. "Bukan apa-apa, kamu nggak perlu tau. Kita cari taksi aja ya."

"Nggak, jawab dulu pertanyaan aku. Itu apa? Dan kayaknya lebih dari satu."

"Nggak, jangan bahas lagi. Kita pulang sekarang."

"Jawab! Jangan bikin aku takut!"

Dia menyerah, kemudian berkata, "Semua itu kepala ayam."

Aku menutup mulut dengan telapak tangan. "Semua? Apa maksudnya semua? Jadi itu bukan cuman satu?"

Dia mengangguk. "Ada banyak, kelihatannya cuma satu tapi besar karena ditumpuk-tumpuk."

Aku hampir jatuh pingsan jika saja dia tak langsung meraih tanganku. Apa-apaan ini?! Darah? Kepala ayam? Banyak? Bertumpuk-tumpuk? Bagaimana mungkin aku tak mengenalinya tadi.

"Kita pulang pake taksi aja, gak mungkin kamu mau liat itu lagi, kan?"

Aku hanya menganggukan kepala, badanku mendadak lemas dan perutku mual luar biasa. Aku sangat membutuhkan kamar mandi.

Dia membawaku ke pinggir jalan lalu menghentikan sebuah taksi yang lewat, aku beruntung. Taksi keberuntungan ini akan membawaku dengan cepat menuju rumah dan tentunya ... kamar mandiku. Perutku serasa diaduk-aduk. Aku tak ingin kembali ke sana, mobil itu tidak akan pernah kupakai lagi. Tidak akan!

(&_&)

Indah Pada Waktunya (Girl×Girl) (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang