21. Janji Dan Debat

3.1K 176 19
                                    

Cristie POV

Kami saling melempar senyum. Aku benar-benar merasa melayang di angkasa, mengingat peristiwa tadi malam membuatku tersenyum-senyum sendiri sepanjang pagi ini. Aku bisa gila, dia sungguh membuatku gila!

Aku tak henti-hentinya tersipu saat dia menatapku intens sambil melempar senyum manis, lama-lama mungkin aku bisa terkena diabetes kalau setiap hari diberi senyuman seperti itu.

Jemari kami saling terpaut di bawah meja kantin, mengalirkan sejuta kehangatan bagiku. Dunia ini seolah-olah hanya ada aku dan dia, apa begini rasanya orang yang sedang bahagia karena bisa bersama dengan orang yang dicintai? Aku ingin memilikinya sejak dulu. Kini dia sepenuhnya milikku dan aku sepenuhnya miliknya. Saling melengkapi merupakan hal yang kunanti-nantikan darinya sejak dulu.

"Ekhem!"

Dehaman seseorang sukses membuatku langsung kembali ke dunia nyata. Eh, memangnya di mana aku sebelumnya?

"Kebiasaan pasangan baru nih, senyum-senyum nggak jelas," ujar Eka sambil menyeruput es tehnya.

Kay langsung antusias. "Siapa yang senyum-senyum nggak jelas kayak orang gila?"

Ohhh, jadi dia menganggapku sebagai orang gila? Dia ini sengaja meledekku atau bagaimana?

"Samping lo, dari tadi senyum-senyum nggak jelas kayak ... orang gila." Eka menutup mulut agar tawanya tidak terdengar. Ah, percuma. Aku tahu dia menertawakanku.

Kay manggut-manggut sambil menatapku. Apa maksudnya dia melakukan itu? Aku kan jadi malu!

"Kamu gila?" tanyanya santai.

Kau tahu? Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin menendang tulang keringnya yang ada di dekat kakiku.

"Iya, dia gila. Kan lo yang bilang tadi," kata Eka. "Iya 'kan, Kay?"

"Iya sih, tapi dia nggak gila kok. Kamu nggak gila, 'kan?" tanyanya padaku.

Aku memutar mata. "Iya,"

"Iya gila atau iya nggak?"

"Iya, aku nggak gila, Kay...," jawabku dengan gemas.

Dia manggut-manggut lalu menarik tanganku agar mengikutinya. Eka, Sonia, dan dua bersaudara tampak terkejut karena kami meninggalkan mereka begitu saja.

"Woy! Mau kemana?!" teriak Sonia.

Kay tidak menjawab, dia hanya mengibaskan tangannya sebagai tanda: jangan ikut campur! Dia membawaku ke taman lalu mendudukkanku di salah satu kursi di bawah pohon rindang. Dia duduk dengan santai sambil memandang ke langit biru, tanganku masih digenggamnya dengan erat.

"Ngapain kita ke sini?" tanyaku.

"Duduk-duduk aja, nggak ngapa-ngapain. Kan di sini seger anginnya. Kamu suka yang kayak begini, 'kan? Angin?"

"Dari mana kamu tahu? Aku nggak pernah bilang ke kamu kok."

Aku memang menyukai angin segar seperti ini, mungkin ini bisa disebut sebagai hobiku apabila sedang merasa bosan. Mencari angin segar di balkon kamar dan memandang ke kamar seberang; kamarnya.

Dia tak melepas pandangan dari langit biru di atasnya. "Perasaan aja sih, soalnya kamu sering banget berdiri di pinggir pagar balkon, lebarin tangan kayak di film Titanic sambil merem-merem, tinggal kurang cowok yang pegangin tangan kamu aja. Entar jadi kayak Rose sama Jack deh."

Nah!

"Dari mana kamu tau? Kamu perhatiin aku, yah?"

Dia tidak menjawab, hanya tersenyum lalu menarik tubuhku agar mendekat padanya. Aku anggap senyumnya itu sebagai jawaban "iya". Aku meletakkan kepalaku di bahunya, memeluk lengannya.

Indah Pada Waktunya (Girl×Girl) (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang