32. Akhir?

546 48 10
                                    

Kay duduk di sebuah bangku besi yang dingin dengan sweater rajut berwarna biru laut dan celana jeans, dia menikmati sore hari di dekat danau seorang diri, berusaha menjernihkan pikiran atas apa yang terjadi belakangan. Tempat itu lenggang, sesuai yang diharapkan, hanya ada beberapa orang berlalu-lalang yang dapat dihitung dengan jari. Dia memperhatikan setiap orang yang datang dan pergi seperti orang linglung.

Sudah beberapa hari sejak dia memergoki Cristie dengan lelaki yang selama ini tak disukainya, sudah dua hari juga Kay tidak berminat pada handphone dan kuliahnya. Oma tidak bertanya apa-apa sebab ia tidak tahu apa yang sudah terjadi, Kay menyembunyikan kesedihan dan membuat dirinya sendiri selalu terlihat ceria dihadapan sang oma meski hatinya tengah dilanda gemuruh kebimbangan.

Mungkin dia bisa mengurangi kesedihannya seperti yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya, ada beberapa gadis di kelas yang menunjukkan ketertarikan padanya, dia bisa saja bersenang-senang dengan mereka, pergi ke tempat yang belum pernah dikunjunginya lalu berakhir dengan one night stand atau malah lebih dari itu. Barangkali dia tiba-tiba menyukai salah satu dari mereka. Mungkin itu bisa membuatnya lupa akan kesedihannya, tapi Kay bukanlah orang lain yang bisa melakukan hal seperti itu. Dia terlalu setia pada satu orang, terlalu mencintai satu orang, hingga saat orang yang dicintai membuatnya kecewa, rasa sakit di hatinya tidak bisa hilang begitu saja, terlalu membekas, terlalu dalam hingga sulit untuknya bisa menggapai permukaan.

Kay selalu punya impian untuk menikah dengan wanita yang dicintainya. Indonesia bukan pilihan yang tepat, tapi Belanda adalah pilihan sempurna di mana dia bisa menikahi wanita pilihannya sebagai pasangan hidup tanpa bisikan-bisikan jahat yang membuat telinganya panas. Dia selalu memimpikan wanita itu sebagai Cristie, tapi apa sekarang? Mimpi itu sudah menjadi kepulan asap yang semakin lama semakin menipis dan ada saatnya untuk benar-benar hilang tak berbekas.

Kay bangkit dari duduknya dan menuju tepi danau yang tenang dan berair jernih sembari mengumpulkan beberapa batu tipis lalu melemparnya satu per satu dengan posisi miring, membuat batu itu meloncat beberapa kali sebelum akhirnya tenggelam ke dasar danau dan mungkin berkumpul dengan batu lain di sana.

Dia melakukan hal itu beberapa kali sampai batu yang dikumpulkannya habis lalu duduk bersila di bawah pohon rindang yang memayunginya bak cendawa raksasa. Dia butuh jawaban tentang hubungannya, apakah masih bisa dipertahankan atau harus berhenti meski rasa sayangnya pada Cristie tidak berkurang sedikit pun setelah kejadian itu. Hatinya hanya merasa sakit, sakit yang tak bisa dia utarakan pada siapa pun. Lari dari masalah bukan sesuatu yang tepat, namun menghadapinya juga membuatnya merasa sesak. Tentu dengan terpaksa dia harus bisa menghadapi kejadian tersebut, entah hasilnya manis atau pun pahit. Maka Kay menyalakan gawainya setelah lima hari tidak digunakan.

Dia membuka ikon telepon berwarna hijau lalu melihat banyak pesan masuk, dia membuka pesan dari Cristie, belum sempat dibaca, sebuah panggilan muncul. Kay memantapkan hati sebelum akhirnya mengangkat telepon tersebut.

"Halo?" sapa Kay.

"Kamu ke mana? Kenapa ngga aktif mulu?" jawab gadis di seberang tanpa mengacuhkan sapaannya. Untuk pertama kalinya sejak hubungan keduanya terjalin, Kay merasa sesak saat mendengar suaranya, bukan bahagia karna rindu yang membuncah seperti biasanya. Seolah-olah ada pisau yang melesat bersamaan saat Cristie berbicara.

"Ngga ke mana-mana. Charger-ku hilang jadi ngga bisa ngecas, ini baru sempat beli yang baru."

"Ohh...."

Lalu kesunyian menyelimuti. Kay menunggu apa yang ingin dikatakan Cristie selanjutnya, dia siap menerima apa pun yang akan terjadi. Meski sebagian dirinya merasa pasrah mengikuti alur, sebagian lagi masih ingin memperjuangkan tanpa peduli penghianatan. Bodoh karna cinta? Ya, bisa jadi.

Indah Pada Waktunya (Girl×Girl) (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang