Lahir Menjadi Pohon

163 48 29
                                    

Ting tong.... tingtong.....

Aku memencet tombol bell di depan rumah tingkat dua bercatkan warna putih dasar yang mulai kusam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memencet tombol bell di depan rumah tingkat dua bercatkan warna putih dasar yang mulai kusam .
Tampak begitu sepi, pagar kayu yang membentengi rumah ini pun rupanya tak dikunci. Membuatku semakin ingin berjalan mengitari halaman yang lumayan luas ini. Sembari mencuri-curi waktu untuk sedikit flashback.

Tak banyak yang berubah,rumput manis yang tetap hijaun, hanya ada berbagai jenis tanaman baru kian menghiasi.
Namun yang mencuri perhatianku adalah bunga matahari kesukaankku masih tetap tumbuh.
Aku cukup puas berjalan-jalan dan kini aku tengah berdiri tepat di depan pintu rumah.

"Asalamualaikum bunda, bunnnn"

"Virtan , apa kamu di dalam?"

Aku menggedor-gedor pintu rumah Virtan, biasanya mbak Jum asisten rumah tangga Virtan akan langsung membuka pintu setelah mendengar suaraku.

Aku bergegas ingin kemari,saat pertama kali sadar bahwa aku kini di masa yang berbeda, tak perduli masih menggunakan gaus pesta dan riasan tebal di wajahku. Aku harus menemui si Bajak Laut.

Tak sungkan-sungkan meminta ka Fabyas untuk menurunkanku dari mobilnya dipersimpangan jalan. Sebuah jalan bercabang dua, tempat biasa aku dan Virtan berpisah sewaktu pulang sekolah dulu. Jalan pembatas yang mengarah ke rumah lamaku dan dari arah berlawanan menuju rumahnya

Krek...... krek.....

Bunyi pintu dan sebuah anak kunci yang tengah diputar, tak berselang lama aku melihat sesosok wanita paruh baya duduk di atas kursi roda.Bersama mbak Jum yang yang setia mendorongnya. Spontan aku langsung memeluknya.

"Bundaaa......." ucapku segera

" Brenda sayang, apakabar nak?"

Balas bunda dengan hangantnya, sambil mengelus - elus rambutku.

" aku rindu bunda" lalu kupererat pelukanku.

"Bunda juga rindu, ayo masuk dulu nak" .

"Iya tuh non, masuk dulu jangan di pintu, pamali loh non.

Ucap bunda dan mbak Jum dengan dialeg medoknya yang khas.
Mereka berdua menggiringku masuk ke dalam rumah. Aku kemudian mengambil alih pegangan kursi roda bunda dan mendorongnya, bunda membalas mengelus-elus tanganku.

Dulu hampir setiap hari aku berkunjung ke rumah ini, bahkan di hari minggu. Lebih tepatnya sebelum pohon mangga yang kami tanam bersama sebesar sekarang. Menyusun rencana membuat Rumah pohon atau sebuah ayunan jika pohon ini tumbuh besar.
Yang terjadi seiring besarnya pohon ini , kami juga bertumbuh dewasa dan lupa pada mimpi kecil itu.

****

"Tidak usah repot-repot bun"

ucapku saat bunda menyuguhkan secangkir teh di atas meja.

"Kalau bunda tau kamu mau datang, pasti bunda persiapkan coklat hangat kesukaam kamu"

Bunda duduk mendekat dan kami duduk atas sofa panjang yang sama.
Seperti inilah bunda nya si penguasa lautan, berbeda dengan lautan yang menakutkan. Kasih sayang bunda lebih mirip sebuah bahtera yang memberi rasa aman dan nyaman begitu ramah dan hangat baik dulu ataupun sekarang.

Oiyaaa bun, Virtan kemana?

Aku menoleh ke kanan lalu ke kiri. Menyelidik di setiap sudut rumah dengan kedua mataku.

Emm....
Virtan habis dari makamnya Deff.
Lalu.....

Aku duduk tertegun, hatiku terasa terenyuh kembali. Aku merasa begitu terpukul , ini pasti sangat menyakitkan bagi Virtan.
Kehilangan orang yang dicintai. Aku tau seberapa sakit nya hal itu saat kehilangan Oma yang mengurusku. Ayahku sudah lama meninggal, jadi aku tidak begitu merasa kehilangan.

Rasa sakit ada bukan hanya kehilangan orang yang kita cintai melainkan karna kehadiran seseorang dan keterbiasaan yang di lalaui bersama. Itu yang membuat seseorang susah untuk mengiklaskan.

"Apa Virtan sering kesana bun?"
Diamana makamnya bun? Dera juga ingin berkunjung.

"Emm... jangan Der ...sebenarnya..." Bunda tampak gelagapan. Seperti ada kata yang sulit di ucap menggantung di ujung lidah.

"Non , gausah kesana percuma." Sambung mbak Jum.

"Loh kenapa mbak?" Ucapku penasaran.

"Mas Virtannya udah berangkat non. Sejam lalu" Jawab mbak Jum polos

"Iya Dera, maafkan Bunda tidak berterus terang. Sebenarnya setelah mengucapkan selamat tinggal pada Almarhumah Deff, dia langsung menuju bandara.

Kaki ku terasa lemas, aku yang semula berdiri menjatuhkan diri kembali ke atas sofa. Kini semakin sulit untukku berbicara, isak tangisku meluap. Air mataku tak kunjung berhenti mengalir. Bunda mencoba memelukku dan mengusap pelan pipiku.

Akhirnya Bunda menceritakaan bahwa Virtan lah yang berpesan agar tidak membicarakan masalah ini padaku. Virtan akan segera memberiku email sesampainya dia di Eropa, karna dia tau sahabatnya ini lebih sulit dibujuk dari pada bundanya. Aku yakin ini semua adalah upaya besarnya untuk melupakan mantan kekasihnya.

Sekali lagi orang yang kucintai pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal padaku. Jika aku bisa terlahir kembali, aku ingin menjadi pohon.
Setidaknya pohon akan terus menetap tanpa harus pergi. Hingga tidak ada alasan untukku mengucapkan selamat tinggal.

Aku dan Petang #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang