Komedi Putar

112 6 0
                                    

Karena hujan turut mewakilimu menangis - Brenda Sandera

"Apa yang kamu suka coklat atau strawbery?" kak Fabyas menyodorkan dua jenis eskrim berbeda di kedua tangannya.

Aku mengambil yang terdekat dari posisi badanku. Rasa apapun itu untuk saat ini ku yakin akan terasa sama saja.

"kamu suka coklat? Aku juga, tapi mulai hari ini aku akan suka strawbery." canda kak Fabyas.

Aku membalasnya dengan senyuman, kami berjalan-jalan di sebuah taman bermain sepulang sekolah. Sepertinya kak Fabyas berniat menghiburku. Aku suka tempat ini, jika saja suasana hatiku baik.

Kami berjalan sambil menaiki beberapa permainan karena tidak terlalu banyak antrian di seluruh wahana. Mungkin karena ini bukan weekend. Kak Fabyas sesekali mencoba mengajakku berbicara, namun lebih banyak diamnya sih.

Apa mungkin dia juga canggung dengan kejadian sepulang sekolah itu, begitu pula aku. Kami akhirnya hanya berjalan sambil menghabiskan eskrim.

"Ayo naik itu," kak Fabyas menarik tanganku, dia membuatku berlari bersamanya.

" Bianglala?" aku mencoba meyakinkannya.

"iya, ayo naik ," Kak Fabyas mendorong pelan tubuhku untuk duduk di wahana itu bersamanya.

Kami menaiki bianglala yang terus berputar, hingga pada saat bianglala itu berada di puncak kemudian terhenti.

"kenapa kak? Aku bertanya karena wajah kak Fabyas tidak mengisyaratkan dia baik-baik saja.

"astaga.... ternyata ini lebih mengerikan dari yang aku bayangkan." Kak Fabyas kembali gelisah.

"Jangan bilang kalau?..."

"Tidak aku tidak takut ketinggian." kak Fabyas memotong

"ha...ha...ha.." aku tertawa lepas kali ini.

"Siapa yang bilang kakak takut ketinggian?" aku kembali tertawa terpingkal-pingkal.

"Jangan goyang-goyang Dera!" kak Fabyas berteriak ketakutan.

Aku kembali tertawa tapi sedikit mencoba mengkontrolnya, siapa sangka ketua paskibra yang terkenal tegas ternyata fobia ketinggian. Mungkin ini akan jadi gosip terbaik di sekolah pikirku. Tanpa sadar kak Fabyas rupanya memandang tepat kearahku. Diam tanpa ekspresi itu malah membuaku menjadi salah tingkah.

"Emm... tumben barusan manggil namaku. Biasa nya anak kelas satu!" aku mencoba mencairkan suasana.

"Dera.... Dera...." kak Fabyas memanggilku dengan lembut.

Astaga, mengapa terdengar begitu lembut dan enak di dengar.

"iya kak?" aku menanggapi panggilannya.

"Awas kepalamu! Menghalangi saja." dia menggeser kepalaku.

Aku kembali menggerutu, baru saja aku merasa dia begitu baik hari ini. Tapi sifat asli memang akan sulit dihilangkan. Dasar menyebalkan, aku terus mengumpat dalam hati. Kemudian aku membalikan badan, dan aku terpukau pada langit senja indah itu.

Tak terasa kami menghabiskan banyak waktu, dan langit sore hari ini begitu indah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak terasa kami menghabiskan banyak waktu, dan langit sore hari ini begitu indah. Bersama matahari yang mulai terkubur di ufuk barat , aku berharap perasaanku juga akan turut besamanya.

"Oke , sekarang giliran kamu anak kelas satu unutuk memilih permainan apa?" kak Fabyas tetap memanggilku seperti tu.

"emm..... halilintar?tornado?" sambil tersenyum aku mengejek kak Fabyas.

"oke aku putuskan kita naik komedi putar." kak Fabyas dengan seenaknya memutuskan.

"tidak, apa saja asal jangan komedi putar!" aku menjawab dengan ketus.

"ayolah." kak Fabyas seperti biasa menarik tanganku.

Aku menepis tangannya dengan kasar kali ini. Sehingga membuatnya terkejut dengan tingkah laku ku.

"Aku benci komedi putar." suaraku ragu namun ekspresi sendu sepertinya menghampiri wajahku.

"kamu takut kuda yah? Ha...ha..." kak Fabyas menertawakaanku dan dia masih belum peka.

Aku berjalan melawan arah, lalu kak Fabyas menghalangi langkahku. Sehingga tubuh kami saling berhadapan.

"kamu sudah tau satu rahasiaku hari ini, boleh aku tau satu rahasiamu? Membenci bukan berarti harus terus menghindarikan?" Kak Fabyas seolah memberiku posisi ternyaman unutuk aku membagi satu rahasiaku padanya.

"Apa kakak tau dimana sudut dari komedi putar?"

Kak Fabyas menggeleng bingung.

"Waktu kecil aku pikir sudut dari komedi putar adalah saat komedi itu terhenti. Aku bahkan terus menunggu sampai komedi putar itu benar-benar terhenti. Tapi ibuku tidak kunjung datang. Nenek bohong ketika mengatakan ibuku akan kembali saat aku menemukan  jawaban. Hingga saat itu aku benci pada komedi putar, lebih tepatnya pada kenangan yang akan hadir saat aku menaikinya." aku kemudian memalingkan wajahku berusaha menyembunyikan air mata.

"Rupanya bukan cuma aku yang naif di dunia ini." tatapan kak Fabyas mulai kosong.

Aku pikir dia akan bersimpati padaku, atau mengatakaan kata-kata bijak yang biasa kudengar  dari orang-orang saat mendengar ceritaku. Entah itu adalah kata-kata penghibur atau ejekan. Tapi itu lebih baik ketimbang memasang wajah kasihan padaku.

"Aku kehilangan ibuku dua tahun lalu, aku sama naifnya dengamu. Hal yang aku lakukan adalah menunggu dan percaya, mama sangat pandai berbohong dia bilang penyakitnya tidak parah, dia bilang setelah keluar dari rumah sakit kami akan menonton film laskar pelangi bersama. Dia bilang umurnya akan lebih panjang dariku, menemaniku wisuda, dia bilang akan memakaikan jas pengantinku , dia bilang..... huffff...." kak Fabyas menarik napas dan mengeluarkanya dengan berat.

Aku kembali menangis kali ini dengan suara yang keras, benar-benar tersedu-sedu. Membuat pipiku di banjiri air mata.

"Sudah ku bilang jangan menangis tanpa izinku!" kak Fabyas membantu mengusap airmataku.

" Aku menangis karena kakak tidak menangis. Bagaimana bisa kakak begitu bersedih tapi tidak menangis?" aku berbicara dengan terbata-bata dan air mataku benar-benar sulit untuk berhenti, seolah aku turut merasakaan sakit di hatinya

Kak Fabyas terdiam , kali ini ada air yang menetes di pipinya. Tak lama air itu membasahi tubuh kami. Air hujan itu membantunya menyembunyikan air mata nya.

"kakak lihat? Air hujan mewakili kakak menangis?" sambil melihat ke arah langit aku berterimakasih dalam hati.

Kak Fabyas mengangguk lemah, kemudian aku menendang genangan air di sampingnya membuat kami saling menjahili satu sama lain. Kami ini masih SMA biarkan kami menikmati itu, meski kami sangat tau arti kehilangan. Kami tidak akan berlindung ataupun berteduh, biar hujan ini reda dengan sendirinya. Begitu juga dengan apapun dalam isi hati kami.

Aku dan Petang #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang