Arah Angin

91 8 8
                                    

Karena kamu adalah angin yang berhembus di penghujung Desember. Dinggin - Fabyas Lucas

Aku sudah lelah bertanya pada kak Fabyas dimana sekarang? dan mau kemana ?karena sepertinya mobil ini tidak membawa kami kembali ke kantor usai makan di restoran. Padahal masih ada segudang laporan menanti dikantor. Apalagi pekerjaannya , aku sedikitnya tau tugas petinggi sepertinya tidak bisa dianggap sepele. Seharusnya dia tidak berkreliaran bersamaku disaat jam kerja.

Bagaimana dengan semua dokumen yang harus dia tandatangani, memimpin rapat direksi, dan banyak lagi tugas seorang direktur yang harusnya dia kerjakaan. Namun ayolah, ini sudah lewat jam makan siang, aku yang duduk bersebelahan dengan nya di belakang kemudi supir akhirnya memilih diam setelah banyak bicara, lebih tepatnya bertanya dan mengeluh , akhirnya larut dalam alunan musik radio.

Aku tersentak kaget, ketika tiba-tiba kepalanya bersender ke bahuku. Apa celotehanku barusan terdengar seperti dongeng untuknya . Apa dia pikir aku sedang meninabobokannya. Aku ingin marah padanya, nanmun tak tega setelah melihat wajah lelahnya. Mungkin bebannya lebih berat dari siapapun di kantor dan aku harus lebih memahami hal itu.

" kamu tertangkap basah, kamu sedang memperhatikan wajah tampanku kan?." kak Fabyas berkata sambil kedua matanya masih terpejam.

Aku langsung menjatuhkan kepalanya dari bahuku.

"Pura-pura tidur hanya untuk mendapat kesempatan. Dasar bos mesum."

"Bagaimana jantungmu berdetak lebih kencang tidak? Apa ada desiran hebat di hatimu?.aku yakin kau menikmatinya." ucap kak Fabyas sambil memasang wajah jahil.

"Tidak kok. Cuma kepala kakak berat saja." jawabku datar.

"Astaga Dera, bisa tidak menjawab tidak sejujur itu, , sakit tau disini." sambil memegang dada kirinya.

Aku hanya ingin mengatakan tingkah dia sangat tidak sesuai dengan karakter dirinya yang ku kenal. Setauku semakin matang umur seseorang makan akan semakin dewasa tingkah dan prilakunya . Nampaknya itu pengecualian untuk Kak Fabyas. Saat SMA dia jauh terlihat wibawa , dan dewasa.

"Tuan, kita sudah sampai." ucap supir pribadi yang sedari tadi hanya sebagai pendengar pembicaraan tidak penting kami.

Kami sampai di sebuah tempat peristirahataan bagi mereka yang tak lagi bernyawa. Pemakaman ini cukup jauh dari pemukiman. Daerah dataran tinggi, satu sisi lain dari pinggiran Kota yang engap. Supir kak Fabyas pun menurunkan sebuket bunga lily dari dalam bagasi.

"indah kan?" tanya kak Fabyas padaku.

"iya" sambil sedikit bingung.

"Untuk seseorang yang tak kalah indah dari bunga itu. Wanita yang aku cintai." sambil memberikan bunga itu padaku.

Aku menerimanya dengan sedikit canggung dan perasaan yang sulit dijelaskan. Rasa bingung harus bersikap bagaimana pada orang yang mengutarakan perasaan padaku.

"Pegang itu! Masa mau bertemu wanitaku kamu bertangan kosong" ucap kak Fabyas setelah itu.

Aku sangat malu dan kebingungan ku kira itu untukku, sebelumnya aku mengira yang dimaksudnya adalah aku. Rupanya aku sudah begitu GR padanya.

*****

Kak Fabyas kini tengah mencabuti rumput-rumput dan tanaman liar di sisi-sisi sebuah makam. Tampak sebuah bunga lily yang sudah layu di atasnya.

"Mamah aku datang, maafin Byas yah sudah jarang datang.Jangan marah yah mah. Sebagai gantinnya Byas bawaain lagi bunga lily kesukaan mamah. Ditambah dengan gadis pembawa bungannya." Ucap kak Fabyas sambil melirkku sebagai sebuah kode.

Aku dan Petang #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang