Lady Killers

9K 638 20
                                    

Jillia menyunggingkan senyum menatap Abraham. Bram. Lebih tepatnya nama pria itu sekarang. Berharap membuatnya kembali hanya karena membuat pameran kecil seperti ini?

Sangat disayangkan karena Jillia menemukan hiasan menarik di balik pria itu. Dengan langkahnya yang pelan dan santai, Jillia menarik salah satu hiasan bunga kaca yang dia ambil dari vas di sudut ruangan. Memecahkan ujungnya dengan sekali pukul, membuat Bram terdiam di tempatnya.

Jillia berdiri di depan Bram, menunjuk salah satu potret foto dirinya yang laki-laki itu tunjukkan lalu dengan cepat menusuknya dengan pecahan kaca yang dia punya.

Bram tidak terkejut. Dia tahu sejak dari Jillia memecahkan bunga kaca ditangannya, perempuan itu akan merusak semua potret di galeri ini.

Dan benar saja. Jillia menarik pecahan kacanya di sepanjang dinding sengaja mengenai semua foto yang berada di sana dan menciptakan satu garis panjang yang tak beraturan hingga foto terakhir yang dia lihat. Lalu beralih ke dinding yang lain sampai dia berdiri kembali di hadapan Bram.

Rival yang berada di sana ternganga. Menaikkan satu bibirnya memandang takjub kepada Jillia yang berhasil melakukan hal itu. Apalagi ketika Jillia melemparkan sisa pecahan kaca di tangannya tepat di sebelah Bram.

"Walk to our memories?" Jillia melipatkan kedua tangannya, "Guess what Bram?"

Bram menatap istrinya dengan diam

"Gue, udah hapus itu kenangan dari pikiran gue. Rusak, Bram. Udah gak bagus lagi kenangan gue sama lo..."

Bram menarik nafasnya.

"Jadi mending lo cari perempuan lain. Gue harap semoga dia bisa dapetin sayang lo itu..."

Bram menahan tangan Jillia dengan cepat dan keras ketika perempuan itu membalikkan tubuhnya. Membuat Jillia kembali menoleh kepadanya dengan tajam. "Berarti lo beruntung..."

Jillia mengenryitkan keningnya

"Lo adalah perempuan selanjutnya dan bakalan jadi terakhir, yang bakalan dapetin gue, pikiran gue, hati gue..." kemudian menarik Jillia ke dalam pelukannya, "Jangan lari, Kal..."

"Atau apa?"

Perempuan itu meronta. Jelas. Bram hanya terkekeh dengan pertanyaan konyol seperti itu. Dia akan sangat murka kalau sampai Jillia berani meninggalkannya setelah apa yang dia lakukan.

"Lepas..." kembali Jillia mendorong Bram karena tidak merasa nyaman atas perlakuan pria itu kepadanya

"Thank you, Val. Lo boleh pergi..."

Jillia mendelik dan mendorong dengan keras Bram. Menemukan Rival menganggukkan kepalanya kepada Bram. "The hell, dude?"

"Ji, dengerin Bram dulu. Kalo udah, kabarin gue..."

"Thanks..." ucap Bram membalas Rival dan pria itu meninggalkan mereka

Jillia menutup matanya. Menghela nafas, mencoba tetap sabar ketika Bram kembali meraihnya kedalam dekapan pria itu. Dia merindukannya, tapi tidak ingin menjadikannya mudah. Seperti foto-foto yang robek menjadi dua itu, anggap saja hati Jillia sama dengan mereka.

"Kali... I'm sorry..."

"Bram. Gue ini jalang murahan yang lo benci. Gue yang bikin Bokap lo sama Nyokap gue nikah. Kenapa lo ngejer gue?"

Bram melepaskan pelukannya dan menatap gadis itu tepat di matanya. "Karena kamu itu istri aku, Kal. Masih istri aku, jadi berhenti pake lo-gue..."

"Atau... lo mau cium gue kayak film-film yang kita tonton?"

Pria itu menggelengkan kepalanya. Tertawa dengan pelan lalu menatap serius beberapa detik setelahnya, "Kalila, aku serius. Kamu..."

"Kita cerai. Pokoknya cerai. Pisah. Titik!"

"Oh, sayang..." Bram membelai pipi Jillia dengan ibu jarinya, "Gimana caranya kita lakuin itu kalo sekarang yang aku mau itu kamu..."

"Makin gak waras lo..."

"Iya. Sinting kan, aku?" Lalu pria itu mencium belahan dadanya dengan pelan, "Beneran mau tau hukuman kamu, Kal?"

Jillia menaikkan satu alisnya, makin tidak waras saja Bram ini. "Lepasin..."

"Oh. Come on, kamu pasti suka..."

"You're disgusting..."

Abraham hanya menggelengkan kepalanya saja. Mengeratkan pelukkannya kepada Jillia dan mulai menatap serius. "Satu tahun aku membiasakan diri. Tahun ke dua hampir gila karena aku tanpa kamu, Sayang..."

"Tahun ke tiga..."

"Gak ada tahun ketiga..." Abraham menyeringai.

Jillia tahu akan kemana Abraham membawa obrolan mereka. Jadi ketika pria itu menahan lengannya, dia malah menyerang titik paling sensitif Abraham sampai pria itu terjatuh ke lantai dan meringis memegangi alat vitalnya.

Abraham hampir saja tidak bernafas ketika merasakan sakit teramat sangat dibagian vitalnya. Dia melihat Jillia bersidekap dengan tersenyum.

"Know what, Bram?"

Abraham meringis dan menarik nafas. Wajahnya sudah memerah karena menahan sakit.

"Sakit disitu gak sebanding sama kenyataan waktu gue tau lo sengaja ngasih gue pil sialan itu..."

"Kali..." Abraham memanggil nyaris tanpa suara

"Kalo gue lo kasih itu..." Jillia menghela nafas dan berjalan pelan menuju pintu keluar, "I'll kick your balls again and again as much as the pills i took"

I G E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang