And the worst thing of all is I used to be that one

4.1K 421 12
                                    

"Nyonya Jillia..." dan Jillia tidak mendengar lagi apa yang dokter itu jelaskan kepadanya, "Dan, iya. Anda kehilangan bayi-bayi anda..."

"Bayi-bayi?" Jillia memotong dengan cepat

Dokter di depannya mengangguk dengan sedikit rasa bersalah. "Kami mendeteksi kalau Anda menghentikan pil kontrasepsi Anda yang membuat Anda mendapat peluang lebih besar. Waktu itu juga terdapat dua janin yang kami keluarkan. Kami minta maaf dan turut menyesal, Nyonya..."

Jillia menunduk dengan lemah. Tangannya mengulur begitu saja ke perutnya yang rata dan menahan nafasnya sesaat. "Kenapa kalian gak bilang soal kondisi saya?"

Dokter menghela nafas cukup berat. "Bapak Abraham meminta kami merahasiakannya..."

"Of course he did..." Jillia semakin melemah kemudian tersenyum dan keluar dari ruangan dokter itu. Dia tidak bisa memutuskan apakah dia ingin menangis terlebih dahulu atau marah kepada dirinya sendiri karena tidak merasakan ada dua janin yang pernah bersemayam di tubuhnya.

Setelah berjalan cukup lama dan kembali masuk ke dalam mobilnya, Rival menawarkannya sepotong onigiri yang dia yakin Rival dapatkan di salah satu minimarket dengan logo biru kuning di seberang rumah sakit.

"Ji lo harus makan, Mama gak suka liat lo sakit..."

Jillia sudah menangis dengan sesenggukkan memegangi perutnya sendiri. Perempuan itu tersengal karena dia tidak bisa menahan sesak di dadanya ketika mengetahui dia pernah kehilangan dua buah cintanya sekaligus. Hanya karena dia berada di mobil bersama Argo. Dan dia pernah membiarkan Argo memasuki dirinya. Oh, betapa jahatnya dirinya kepada dua janinnya sendiri.

Rival yang melihat perempuan itu menangis hanya bisa diam memandangi Jillia yang terus memeluk dirinya menangis seperti anak kecil. Begitu rapuh dan lemah dan memilukan. Rival ingin memeluknya, menyalurkan sedikit tenaga agar perempuan itu terlihat kuat dan tidak peduli seperti biasanya. Dia tidak pernah tahu, Jillia bisa menangis seperti ini seakan semua masalah berada di pundak perempuan itu. Sehingga akhirnya, Rival memutuskan menarik Jillia ke dalam pelukannya.

Tangan besar laki-laki itu merengkuhnya. Membuat Jillia semakin sesak dan menangis sejadi-jadinya. Air matanya tidak bisa berhenti keluar mengingat bayang-bayang dua tahun lalu. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu apa yang Argo lakukan padanya. Kalau sampai laki-laki itu mendapatkan ingatannya kembali, habislah sudah. Dia pikir hanya itu yang menjadi dosanya dan sekarang, setelah Jillia mendengar sendiri penuturan dokter bahwa Bram meminta mereka untuk merahasiakan dua janin itu. Jillia merasa dia adalah wanita murahan yang tidak pantas menjadi seorang ibu.

"Jilli... Sshhh. It's okay. Nangis aja, Jillia..." Rival membelai puncak kepala Jillia yang bergetar

Jillia menggelengkan kepalanya. Menelan ludah dengan susah payah. Dan menangis dengan pilu dalam pelukan Rival. "Gue mau mati aja..."

"Jilli..." Rival mendesah dengan lemah kemudian kembali mengusap punggung Jillia

Perempuan itu masih menangis. Ibu kandungnya meninggal, Ayah kandungnya meninggal, tidak ada orang yang menyayanginya dengan benar, membuat Jillia menangis semakin pilu mengingat calon anak kembarnya yang pergi begitu saja bahkan sebelum dia tahu keberadaan mereka. Jillia ingin mengakhiri hidupnya lebih cepat.

...

Ravenia menghampiri Argo yang sedang memandang keluar jendela dan menyapanya "You're so quiet lately..."

"Hm..." Argo tidak menoleh sama sekali. Dia terdiam memandangi dua orang yang sedang mengobrol di seberang jalan. Akhir-akhir ini dia merasa kehilangan Jillia. Sangat. Semenjak Ravenia mengatakan hanya Ravenia yang menyukainya, Argo seolah tercubit dengan perasaannya sendiri. Dia seperti pernah berada di posisi itu dalam kurun waktu yang cukup lama.

"Bram baru dari rumah sakit dan langsung pulang..." Ravenia menjelaskan dengan santai lalu meminta Argo menoleh kepadanya dengan melambaikan tangannya tepat di depan wajah Argo

Pria itu mendesah dengan pelan, masih memandang keluar jendela dengan tatapan datarnya. "Kenapa gue gak inget apa-apa?"

"Mungkin lebih baik gitu..." lalu Ravenia mengernyitkan keningnya ketika melihat Argo meneteskan air matanya, "Kamu nangis?"

Argo yang merasa matanya berair dan pipinya basah kemudian mengusap wajahnya. "Ah. Gak tau. Aneh..."

"Iya. Kamu aneh sejak kita bahas semuanya..." Ravenia menyerahkan tisunya kemudian duduk memandangi luar jendela, "Sebenernya ada apa waktu kecelakaan itu ya, Go?"

Argo mengedikkan bahunya.

Ravenia beralih menatap tunangannya dengan bertopang dagu, "Jillia keliatan panik banget waktu tau kamu masuk ICU..."

Pria itu menatapnya. Menaikkan kedua alisnya dengan tatapan bertanya.

"Mungkin sebaiknya kamu emang gak inget ada apa sama kalian... Dokter bilang..." Ravenia menghela nafas, "Mungkin ada ingatan yang gak pengen kamu terima waktu itu dan shock di kepala kamu bikin kamu lupa semuanya..."

"What kind of memories was that..."

"Mungkin yang jelek... atau yang bikin kamu sakit hati sampe gak kuat nahannya, Go. Jadi otak kamu milih supaya ngehapus ingatan itu, kan..."

Argo menaikkan satu sudut bibirnya dan kembali memandang keluar jendela. "Memories won't kill ya..."

"They will, Go..." Ravenia menatap Argo ketika pria itu kembali menoleh, "Untuk kasus kamu, they will..."

I G E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang