Kalau mengingat pertama kali dia pergi ke Dufan dengan Bram, dimana dirinya yang menyetir dikarenakan Bram yang belum punya sim kala itu. Jillia kembali memberengut dengan kesal karena sekarang dia kembali menyetir kendaraan sementara suaminya itu asik makan nasi padang di kursi penumpang dengan kaki menjulur ke depan karena kursi depan yang ditekuk sampai habis.
"Kenapa tiba-tiba kamu datengin aku?"
"Oke nanti aku tinggalin kamu lagi..." Jillia menyahut dengan santai sambil melirik ke spion sesekali
"Oh, honey..." Bram tersenyum sendiri dan memutuskan meneguk air mineralnya. "Kamu bosen sama bunganya? Mau lihat bunga yang bermekaran di hati aku?"
"Yeuh. Disgusting. Kayaknya masih ada pengaruh obat di Kamu..." Jillia menggelengkan kepalanya dengan pelan lalu mengajak pria itu turun ketika mereka sampai di parkiran.
Bram memutuskan berjalan di belakang Jillia dan menyampirkan jaketnya di belakang tubuh Jillia lalu mengikatnya di pinggang Jillia. "Celana kamu pendek..."
"Gak usah kayak anak abg..." Jillia melepaskannya.
"Kenapa kamu tiba-tiba ajak aku ke Dufan?"
"Beliin aku bianglala..." pinta Jillia dengan menaikkan satu alisnya dan menunjuk permainan favoritnya. "Satu, cukup kan?"
Bram membasahi ujung bibirnya dengan lidahnya sendiri sambil memegangi pinggangnya. Mengerjap bergantian kepada Jillia dan juga bianglala sialan yang sudah berputar dengan pelan. "Maksud kamu apa?"
"Bianglala... Argo bilang dia mau rombak kamarnya supaya jadi sebagus kamar kamu... Kamu beliin aku bianglala..."
Pria itu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, "There are no correlation between those two, Kalila... Try something more suspicious..."
Jillia menyipitkan matanya, terkekeh sebentar, "Ada. Argo itu suka banget sama warna gelap dan konsep minimalis. Tapi dia rela rubah kamarnya jadi terang benderang super norak kayak kamar kamu demi kebahagiaan aku..."
Bram terdiam mendengarnya. Sialan Argo.
"Ck. As expected from Abraham Januraksa. Masih gak peduli sama Jillia..."
"Kenapa aku harus peduli Jillia kalo istri aku itu Kalila..."
Jillia membalikkan tubuhnya, menyerahkan tiket kepada salah satu petugas dan menunggu Bram sampai berdiri di belakangnya. "Karena Bram..." dia menatap pria itu, "Aku gak suka sembunyi-sembunyi seperti kemarin..."
Oh, damn. Abraham Januraksa dan lidahnya yang selalu terpelintir untuk mengatakan kalimat yang salah. Dia tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran Jillia.
...
"Val, aku pulang. Dua jam lagi..."
"..."
"Okay..."
"..."
"Tenang aja..."
Bram mengambil salah satu daun yang jatuh ke depannya tadi. Dan memainkannya seperti anak kecil sebentar. Sebenarnya dia sedang menahan sakit pada bagian perutnya karena sedari tadi menemani Jillia menaiki wahana yang terus saja membuatnya tidak berhenti tegang. Bisa-bisa luka di dalam jahitannya terbuka lagi. Perempuan ini membuatnya tidak bisa berkata tidak ketika akhirnya Jillia berhasil mengeluarkan mata memohonnya kepada Bram.
Wanita itu membalikkan tubuhnya dan melihat Bram yang masih memutar-mutar tangkai bunga dengan diam dan sesekali menahan nafas. Pasti sedang kesakitan. "Don't die Abra..."
Bram mengangkat wajahnya
Jillia sudah berjalan mendekat kepada pria itu dan berdiri sejarak satu langkah sambil bersedekap. "Don't die too soon..."
"Ya, karena kamu masih marah sama aku..."
Jillia berdecak beberapa kali kemudian tersenyum dengan mantap. "Sayang sekali jawabannya salah, Bram..."
Bram menaikkan satu alisnya. Melihat Jillia kembali berdecak beberapa kali kepada dirinya. "Apa?"
"Kamu belum tanda tangan surat cerai dan belum ikut sidang perceraian kita..."
Bram menghela nafas, "Kalila..." dia menoleh ke samping dan menahan ngilu di bagian perutnya, "You hurt me..." katanya sambil menoleh kembali kepada perempuan yang sudah menatapnya dengan dingin
"Dan kamu belum liat aku nikah sama kakak kamu..."
"Maksud kamu apa?" Bram menajam dan memegangi perutnya sekarang. Ah, lukanya terbuka sepertinya. Dia merasakan ada rembesan basah di dekat kemejanya. Jahitannya pasti terbuka karena dia terlalu banyak terkejut. "Kalila..."
Jillia menghela nafas. "Bagus... Aku suka liat kamu kesakitan kayak gitu..."
"Yeah... Good for you. Senyum kalo kamu seneng..." Bram memegangi perutnya dan menelan ludah. "Kamu bilang kamu seneng, harusnya kamu senyum, Kali..."
"Ah..." Jillia menatap dengan diam. Bram ini, memang selamanya tidak bisa menerima dirinya ya? "Cuma kamu orang yang ngakunya cinta tapi masih bales pake kata-kata gak berperasaan gitu, Bram... Orang lain bakalan jalan ke pasangannya dan meluk pasangannya..."
"Kamu tau itu menjijikkan, Kalila..." Bram meringis kemudian menatap ke perutnya. Sudah ada noda darah di sana. "Aku mau panggil petugas..."
"Jangan kabur kamu..." Jillia nyaris saja membentak Bram yang sudah berbalik. Pria itu menatap menahan perih dan memegangi perutnya. "Mau kemana?"
"Kalila, aku butuh pertolongan pertama sekarang. Aku gak mau kamu liat luka aku terus nangis kayak dulu..." jelas Bram hampir meledak kepada perempuan yang masih saja mematung
Orang-orang sudah mulai merekam apa yang mereka lihat dan menatap Bram juga Jillia bergantian.
"Mana mungkin aku nangis bego kayak gitu..."
Bram menyunggingkan senyumnya, "What a pretty lie, Kalila..." dia mengedikkan dagunya ke arah wajah Jillia dengan mata yang sudah berair, "Kalo kamu gak peduli kamu gak akan nangis sekarang..."
Jillia menghapus air matanya. Dia memilih berjalan mundur satu langkah kemudian berkata sebelum meninggalkan Bram begitu saja, "It's a lie. Aku nangis karena aku masih khawatir sama kamu yang gak pernah khawatir sama aku sedikitpun, Bram..."
KAMU SEDANG MEMBACA
I G E N
Literatura FemininaSeri 3 Kambodija. IGEN is Danish'a words. Jillia pasti kembali. Menurut Bram, istrinya itu pasti kembali. Walaupun tidak mudah, tapi pasti dia dapatkan lagi.