We promise no promises

3.3K 363 14
                                    

"It's not fair, Jilli. Dari semua anak saya, saya paling sayang sama Bram. Makanya saya mau dia santai, lepas dari semua urusan bisnis dan jadi yang lain selain bussinesman..." wanita itu kemudian menambahkan, "Dia itu memang paling keras kepala dan bodoh dan terlambat berpikir dan paling terlambat sadar atas apa yang dia mau... Tapi kamu tidak bisa seenaknya mempermainkan Bram begitu..."

"That's the point, Mam. Dia cuma terlambat sadar kalau dia memanag gak butuh saya dan dia gak mau saya dihidupnya. Bram gak mau ceraikan saya, Mam..." Jillia memijit pelipisnya

Aura hanya bisa tersenyum dengan satu sudut bibir terangkat. "Jillia..." gerakannya begitu halus dan anggun menggapai tangan menantunya

Jillia menoleh kepada perempuan yang sudah berjalan di sebelahnya dengan sangat anggun dan mengingatkannya betapa dia iri kepada ibu dari suaminya yang selalu tampak awet muda dan juga cantik serta menawan dan anggun di saat wanita itu bahkan sudah berumur

"Kamu pasti tau kalau gugatan cerai itu bisa diterima pengadilan walaupun cuma kamu yang menggugat cerai Bram..." Aura mengingatkan menantunya dengan fakta yang selama ini semua orang ketahui dengan jelas

Jillia menghentikan langkahnya dan membuat Aura tersenyum dengan puas sekarang, "Oh..." dia terbata, "Ya... Baru tau..."

"Kamu sudah tau..." Aura membelai lembut lengan perempuan di hadapannya, "Jadi kenapa? Kenapa kamu bersikeras berpisah sama anak kedua saya yang okaylah bodohnya selangit itu..."

Jillia hanya mengedikkan bahunya. Yang benar saja. Masa dia mau mengatakan kalau dia pernah meniduri anak sulung keluarga Januraksa walaupun waktu itu dia terpaksa menerima Argo karena pria itu selalu terlihat lebih menyeramkan dari biasanya. Dan mengatakan kepada Aura yang notabene adalah ibu kandung dari suaminya? Oh, ayolah Jillia masih punya otak.

"Mama bisa tinggalin aku..." Argo datang menginterupsi keduanya. Dia hanya menatap sekilas kepada Aura dan kemudian wanita itu meninggalkan mereka berdua. "Ji..." panggilnya kepada sahabatnya yang masih saja terus menghindarinya

Selalu tepat pada saat dibicarakan pria ini datang. "Hm..." Jillia menghela nafasnya dengan lemah. Dia sudah lelah dengan semua ini. "Hai..." sapanya dan kemudian mengikuti Argo yang berjalan pelan menyusuri lorong hotel yang begitu besar dan juga sepi.

"Bram sakit..."

"Udah tau..."

Argo menganggukkan kepalanya. "Lo juga pucet..."

"Ketemu lo soalnya..." Jillia bermalas-malasan dan kembali bersungut melihat Argo yang tertawa di sebelahnya, "Kenapa sih! Udah inget sama masa lalu?"

Argo menganggukkan kepalanya, "Okay. Mungkin gue kedengeran gak tulus apa gimana, Ji. Tapi gue serius mau minta maaf..."

Mereka menghentikan langkahnya dengan Jillia yang menatap tidak percaya pada sahabatnya.

"Gue minta maaf, Ji. Gue serius..." Argo terdengar lebih tulus dan meraih tangan perempuan itu. Dia belum ingat. Tapi satu hal yang dia tahu dan sadar. Dia pastilah orang yang memaksa Jillia melakukan hal gila itu. "Maaf karena gue paksa lo waktu itu dan gue gak tau kalo lo udah jadi adik ipar gue..."

Perempuan itu menatap dengan lemah dan sedih

"I know i was a coward karena gue ternyata sayang sama lo tapi gue lebih milih diem aja nungguin Abra yang bakalan bilang dia jauhin lo padahal kenyataannya enggak. Salah karena manfaatin lo karena mikirin tentang perusahaan..." Argo menarik nafasnya dengan dalam, "Dan hal terakhir yang gue tau adalah, bikin lo keguguran karena ada di mobil sialan itu sama gue..."

Jillia meneteskan air matanya. Perlahan-lahan dia mulai memukuli Argo dengan lemahnya secara pelan, "Kenapa lo jahat banget sama gue, Go..."

Argo menarik perempuan itu ke dalam dekapannya. "Iya. Maaf, Ji. Maafin gue..." Argo merasa sangat bersalah dan kembali menghela nafas, "Maaf karena gue ngelakuin itu disaat lo adalah adik ipar gue, dan lagi mengandung ponakan gue. I'm so sorry, Jillia..."

"How could you..." Jillia menangis dengan lemah dan sesenggukkan. "Ravenia itu suka sama lo..."

"Yah..." Argo masih tidak mengerti kenapa disaat seperti ini Jillia masih mengkhawatirkan orang lain dibanding dirinya sendiri, "Thanks to you, karena Ravenia udah tau, gue bakalan mencoba sama dia Ji..." lalu Argo melepaskan pelukannya dan menatap Jillia dengan hangat, "Balik sama Bram, oke? Jangan saling nyakitin kalo sama-sama masih sayang, Ji..."

"Tapi gue gak tau, Go..." Jillia sudah sesenggukkan dan menahan isakannya, "Gue itu tidur sama lo pas gue lagi hamil anak gue sama dia. Apa dia mau nerima gue..." Jillia menggelengkan kepalanya dengan lemah, "Mana mungkin Bram mau nerima gue kalo dia tau sebelum kecelakaan itu kita malah ngelakuin hal bejat kayak gitu, Go..."

Argo melihat perempuan itu menangis menjadi-jadi dan dia tidak bisa melakukan apa-apa. Betapa brengseknya dia dulu.




----

mo tamat gengs, kit lagi

I G E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang