I swear I'll make it worth it. 'Cause I don't wanna be without you

3.7K 421 29
                                    

"Kali..." Bram memeluk posesif kepada Jillia yang masih menangis di hadapannya, "It's okay..."

"Gak brengsek, lepasin aku. Biarin aku pergi. Ceraiin aku cepetan!" Jillia beralih memukuli Bram dengan pelan sementara pria itu meminta kakaknya meninggalkan mereka berdua

Aura yang keluar dan melihat kedua anak manusia sedang bertengkar itu hanya bisa menghela nafas. "Bawa ke kamar Mama aja. Kalian bicarakan di dalam" lalu perempuan itu pergi begitu saja

Bram tidak banyak bicara dan menggendong paksa Jillia yang masih menangis dengan lemah. Menurunkan perempuan itu di sofa dan kemudian mengunci pintu.

"How could you..." Jillia menangis dengan sesenggukkan, mencoba menghapus air matanya dan menatap marah kepada Bram. "Sudah! Kamu udah denger semuanya Bram. Iya aku sudah tidur sama kakak kamu! Pas aku gak tau kalau aku hamil anak kita! Puas! Aku kotor! Murahan! Jelek! Persis seperti yang kamu omongin selama ini! Ceraiin aku!"

Bram mengusap wajahnya sambil bergumam. "Oh, My freaking God. Kalila..." pria itu berlutut dan meraih tangan istrinya, "Kali semuanya kejadian karena aku, please kamu jangan begini ke aku..."

"Kenapa kamu ikutan nangis?! Aku yang minta cerai! Kamu bisa bebas sana! Jauh-jauh...!"

Bram menghela nafasnya, menghapus air matanya karena perempuan itu malah menangis meminta pisah kembali dari dirinya, "Sumpah Kal, jangan tinggalin aku..."

Jillia mengintip dari celah jarinya. "Seriously?"

"Serius. Aku bakalan nurutin semua mau kamu..."

"Even without my puppy eyes?" Jillia sedikit terisak dan melirik dari celah jemarinya. Menyembunyikan air matanya yang sudah tidak keluar lagi

Jujur saja Bram tahu kalau Jillia sudah tidak menangis. Tapi wajar saja toh, istrinya terlihat lebih manusiawi dibanding kemarin-kemarin.

Wanita yang masih terduduk dan menutipi wajahnya itu hanya sesenggukkan dengan pelan kemudian melirik dengan tidak yakin sekali lagi. Bagaimana bisa Abraham Januraksa yang tidak punya hati dan kemarin-kemarin kejam kepadanya berubah semellow ini? Mungkinkah pria ini tertukar jiwanya? Ataukah pria ini bipolar?

"Kali please... Jangan tinggalin aku, jangan pergi..." Bram memohon dan meletakkan kepalanya dipangkuan sang istri. Menghela nafas panjang, "I was young. Aku masih muda inget? Aku bego. Bego banget, egois, trus naif..."

"Iya kamu bego banget. Gak tau diri. Brengsek..."

"Iya..." Bram menghela nafas kembali, "Makanya jangan tinggalin aku, Kali. Aku lelah..."

Jillia mendesah dengan pelan lalu menyisir rambut suaminya. Pria itu berlutut sambil memegangi tubuhnya dengan posesif dan kepala yang bersandar di pahanya. "Aku tidur sama kakak kamu, Bra..."

Bram menghela nafas, "Karena aku gak bilang kalo kita sudah nikah..."

Jillia terisak, "Aku kecelakaan---"

"Karena aku biarin kamu jemput Argo waktu itu..." Bram memotongnya, memejamkan mata dengan lelah, "Udah, Kali. Malik bilang aku bego, dan cukup sekali aku bego. Jangan lagi..."

Jillia mengangguk dengan lemah. "Tapi kamu keliatan benci banget sama aku..."

"Sumpah aku capek jelasin semuanya dari awal..." Bram mengangkat wajahnya dan menatap Jillia dengan satu sudut bibir yang terangkat, "Abis kamu pergi gitu aja, aku kesel. Kamu tau? Kamu malah kabur gitu aja, tanpa Mama kamu, tanpa Elwood dan tiba-tiba masuk ke Ravenia buat jadi modelnya..."

"Kan buat cari uang makan aku..."

"Kamu masih istri aku, Kal..."

"Tapi kamu gak bilang kalo kita masih nikah..."

Bram memejamkan matanya, "Iya itu karena aku bego..."

Jillia memanyunkan bibirnya yang terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Untung saja hanya keluar disaat mereka hanya berdua

Pria itu menyapukan ibujarinya pada wajah Jillia, "Kamu diajak ketemu selalu ngindar. Kabur..." lalu Bram tersenyum kepada Jillia. "Aku marah kamu tinggal sembarangan, Kali. Bahaya. Kalo ada yang jahat sama kamu gimana? Musuh aku banyak, Kalila. Kerja di tempet obat waktu itu juga, bikin kesel aja. Banyak karyawannya yang suka liatin kamu---"

"Salah kamu pokoknya semua salah kamu..."

Bram menghela nafas mendengar nada manja yang kembali keluar dari bibir Jillia. Perempuan ini membuatnya terkekeh, "Iya salah aku..."

"Kenapa gak bilang soal apartement Argo?" Jillia menuntut penjelasan dengan nada selemah mungkin

"Kamu pasti kabur, Kali..."

"Terus kenapa suka ngatain aku? Kenapa suka ngusir aku? Kenapa gak suka sama Mama aku? Kenapa ngotot banget balikin aku ke Elwood?" Jillia memukul lengan Bram dengan tatapan kesal mengiringinya

"Ngatain? Aku marah kamu muji orang lain di depan aku, puas? Aku gak mau orang bilang kita saudara makanya aku kesel sama Mama kamu. Aku maunya kamu balik jadi anaknya Dominique biar cepet-cepet aku umumin kamu istri aku taunya kamu ngacir sama Rival..."

Mereka berdua terdiam dengan cukup lama sampai akhirnya Jillia mengerucutkan bibirnya lagi

"Aku gak tau caranya ngejer perempuan yang aku sayang, Kali. Tau kan? Selama ini aku gak pernah ngejer perempuan... Cuma tau kalo ada satu perempuan yang ngejer aku..." Bram mengusap pipi istrinya dengan lembut lalu berkata kembali setelahnya, "Makanya aku cuma bisa marah-marah bego, karena akhirnya aku tau itu cemburu. I'm sorry. Sudah banyak melukai kamu..."

Jillia mengangguk mengerti. Memang sudah dia duga anak laki-laki itu tidak akan bisa bersikap manis sejak pertama kali mereka bertemu

"Apalagi soal keguguran itu..."

Mereka terdiam kembali. Dengan Jillia yang berusaha menenangkan Bram dengan membelai rambut Suaminya dengan pelan

"Aku takut kamu sakit..." Bram menatap lembut istrinya yang tiba-tiba memandangnya dengan mata berair. Demi Tuhan, Bram melihat istrinya ketakutan dan rapuh. "Apalagi kalo misalnya aku tau kamu sama Argo habis..." Bram menjeda kalimatnya kemudian melanjutkan kembali, "Mungkin kamu gak cuma kabur dari aku, Kali..."

"I want them back..." kata Jillia dengan lemah

"Aku juga..." Bram menggenggam jemari istrinya, "Maafin aku. Semua sikap aku, kebohongan aku, kebodohan aku..."

Jillia mengangguk dengan tangisan yang sudah membasahi pipinya, "Janji jangan tinggalin aku"

"Iya..."

"Turutin semua kata aku?"

"Iya..."

"Aku satu-satunya..."

"Satu-satunya dan terakhir..."

"Gak marah-marah..."

"Mana mungkin aku bisa..."

"Aku mau punya anak..."

Bram nyaris saja tertawa tapi kemudian menganggukkan kepalanya, "Yang banyak, sayang..."

I G E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang