Dustenberg, Jerman
Kimberly Schett, satu-satunya wanita yang ikut dalam ajang balapan motor yang diadakan setiap tahun di arena balap Dustenberg. Dia sudah siap di atas motornya, lengkap dengan atribut balap. Beberapa peserta balap yang berada di sisi kiri dan kanan gadis itu pun juga sudah siap. Saling meremehkan lewat tatapan dan senyuman satu sama lain.
Kimberly mengabaikan tatapan mereka. Matanya mengarah lurus ke arena balap. Yang terpenting baginya adalah menjadi pemenang dan membawa piala yang akan ditunjukkan kepada ayahnya.
Persaingan lebih terasa ketat ketika seorang gadis berambut panjang dengan balutan dress seksi nan minim, berdiri di tengah area garis start. Di tangannya terdapat bendera berwarna oranye sebagai tanda mulai balapan.
"Bersiap!" teriak gadis itu.
Semua peserta mengegas motor mereka. Saling beradu nyaring seolah ingin menunjukkan kepada semua orang betapa hebatnya motor yang mereka miliki. Para gadis yang berdiri di pinggir arena balap melambai dan berteriak histeris memanggil nama jagoan mereka masing-masing.
Gadis seksi itu menghitung mundur dari tiga angka. "Tiga ...."
Mengangkat benderanya ke atas, lalu menggerakkan ke kanan dan ke kiri. "Dua ...."
Detik kemudian, gadis itu berteriak lagi. "Satu ...."
Bendera itu dilayangkan ke bawah. "Mulai!" teriaknya beriringan suara tembakan pertanda mulainya balapan. Gadis itu bergeser ke kiri untuk bergabung di antara barisan penonton.
Puluhan motor balap itu segera melaju membelah arena balapan. Saling beradu kecepatan dan kehebatan mereka di atas motor. Sorak-sorai para penonton menggema ke seluruh penjuru arena balap mengiringi laju setiap motor peserta balap.
Di balik kaca helm-nya, Kimberly memfokuskan pandangannya ke depan. Dia begitu lihai menyalip di antara motor lawannya seakan jalanan itu adalah miliknya.
Kini, Kimberly yang menjadi pemimpin. Gadis itu semakin mempercepat laju motornya. Menguasai area jalan tanpa seorang pun di belakangnya.
Suara gesekan ban serta deru mesin berpadu menjadi satu di jalanan yang penuh lika-liku itu. Ketika menempuh jalan yang menurun, ada sebuah motor yang berhasil menyusulnya dari belakang. Kimberly tidak sedikit pun memberi kesempatan pada lawannya untuk menyalip di sampingnya. Dia bergerak ke kanan dan ke kiri untuk menghalangi jalan lawannya.
Lawannya itu tidak menyerah. Terus mencari celah agar bisa mengungguli Kimberly. Saat garis finish terpampang jelas di depan mata, lawannya itu sengaja menyenggol motor Kimberly dan mengambil posisi di depannya.
Untung saja, Kimberly bisa mempertahankan keseimbangan motornya. Dia tidak jatuh saat motornya disenggol oleh lawannya. Dia justru menambah kecepatannya agar bisa menyusul laju lawannya.
Kimberly tidak ingin mengalah sedikit saja dari lawannya. Terus melaju sekencang-kencangnya dan berhasil menembus garis finish lebih dulu. Lawannya menjadi geram. Padahal, tinggal sedikit lagi dialah yang akan menjadi pemenang musim ini.
Kimberly menghentikan mesin motornya dan membuka helm-nya. Pendukungnya bergegas menghampiri dan memuji kehebatannya di arena balap.
“Kau hebat, Kim!”
“Kami sangat bangga padamu!”
“Kau memang juaranya di arena balap.”
“Tak ada yang bisa mengalahkanmu, Kim.”Begitulah pujian-pujian yang terucap dari para pendukungnya.
“Terima kasih kepada seluruh peserta balap yang sudah ikut ajang balap tahunan pada hari ini. Tentunya, kita sudah mengetahui bersama-sama siapa yang menjadi pemenangnya,” ucap pembawa acara balap motor itu.
“Kimberly ... Kimberly ... Kimberly ...!” Sorakan nama Kimberly menggema dari para pendukungnya.
“Pemenang ajang balap tahunan ini jatuh kepada peserta yang bernama ...,” jeda sejenak, lalu berkata lagi, “Kimberly Schett. Kepada pemenang, kami persilakan naik ke panggung untuk pembagian hadiah.”
Suara riuh tepuk tangan dari para pendukung mengiringi langkah Kimberly naik ke panggung. Sudah dua tahun ini, Kimberly menjadi pemenang ajang balapan. Dari kecintaannya terhadap dunia balap motor, Kimberly telah mendapatkan berbagai piala. Dia sangat bangga atas prestasinya itu.
Senyuman mengembang di bibir Kimberly ketika dia sudah berada di atas panggung. Dia melambai ke semua penonton membuat para pendukungnya bersorak-sorai memanggil namanya. Mereka sangat senang idolanya menjadi pemenang lagi.
Namun, di balik kerumunan penonton itu, ada beberapa peserta yang tidak menyukai Kimberly. Mereka beranggapan bahwa seorang gadis tidak pantas untuk menjadi pemenang balapan motor.
“Jika saja Alfrey ada di sini, dia pasti bisa mengalahkan gadis itu,” ujar Tommy.
“Kau benar, Tom. Siapa yang bisa mengalahkan kehebatan Alfrey? Gadis itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Alfrey,” timpal Henry.
“Kau tahu kapan dia akan kembali ke sini?” tanya Tommy.
“Entahlah. Dia bilang masih berlibur bersama saudaranya di Thailand,” jawab Henry.
Tommy tertawa kecil. “Kurasa teman kita itu tidak akan kembali dalam waktu dekat ini.”
Henry menautkan alisnya. Tidak mengerti maksud ucapan temannya itu. “Kenapa?”
Tommy menyenggol siku Henry. “Hei, di sana pasti banyak gadis yang seksi dan cantik. Aku yakin dia akan berada lama di sana.”
Henry ikut tertawa. “Dia curang sekali. Tidak mengajak kita berlibur di sana. Kita juga ingin bersenang-senang dengan gadis-gadis itu.”
“Jika Alfrey sudah kembali ke sini, kita harus memberi tahu tentang gadis itu kepadanya,” usul Tommy.
“Ya, Alfrey harus tahu,” tanggap Henry.
***
Di tengah perjalanan, Kimberly tak henti-hentinya tersenyum. “Aku tidak sabar ingin segera memberi tahu daddy. Daddy pasti bangga dengan kemenanganku ini,” gumamnya riang.
Baru saja motor Kimberly memasuki pekarangan rumah, Miranda dan Lorenza tergesa-gesa menuju mobil. Kimberly segera turun dari motor dan membuka helm-nya. Menghampiri ibu dan adiknya yang akan masuk ke dalam mobil.
“Mom, Mir, kalian mau pergi ke mana?” tanya Kimberly. Melihat raut wajah dua orang yang ada di hadapannya, Kimberly merasa ada sesuatu buruk yang sudah terjadi.
“Mom saja yang cerita,” ucap Miranda dengan ketus, lalu masuk ke dalam mobil lebih dulu.
“Ayahmu kecelakaan. Dia koma dan sekarang ada di ruang ICU,” ucap Lorenza.
Bagai petir yang menggelegar di siang hari. Tubuh Kimberly menegang di tempat. Dia tidak tahu harus berkata apa. Kabar tentang ayahnya itu sungguh mengejutkan dirinya.
Miranda yang akan mengendarai mobilnya menjadi kesal melihat motor Kimberly berada tepat di depan mobilnya. Dia membunyikan klakson berulang kali membuat Kimberly tersadar dari lamunannya.
“Hei, Kak. Motormu itu sudah menghalangi mobilku. Cepat, pindahkan!” perintah Miranda.
Kimberly mengindahkan perintah Miranda. “Aku ... ikut kalian, ya,” pintanya.
“Kami sangat terburu-buru, Kim. Kau naik motor saja,” sahut Lorenza.
Saat Kimberly akan berkata lagi, Miranda kembali membunyikan klakson mobilnya. Kimberly segera mengalihkan motornya ke sisi kanan dan memberi jalan pada mobil yang dikendarai Miranda.
“Aku harus menjenguk daddy.” Kimberly kembali naik ke motornya, memakai helm, dan mengendarai motornya menuju rumah sakit.
***
Lorenza, Miranda, dan Kimberly menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan ICU.
“Dok, bagaimana keadaan suami saya?” tanya Lorenza dengan raut wajah yang cemas.
“Keadaan suami Anda belum bisa dikatakan baik. Dia masih koma setelah kehilangan banyak darah. Kami dari tim dokter sudah mengupayakan yang terbaik. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Permisi.” Dokter itu berlalu meninggalkan mereka bertiga.
Suasana hati Kimberly tidak bisa diungkapkan lagi. Hancur berkeping-keping. Awalnya, dia ingin berbagi kebahagiaan atas kemenangan yang diraihnya tadi kepada Valdo, ayahnya. Namun kini, orang yang paling dihormati dan disayanginya itu sedang berjuang untuk kembali sehat seperti sediakala.
Lorenza dan Miranda menangis ketika melihat Valdo terbaring lemah di atas brankar dengan alat-alat medis yang melekat di tubuhnya.
Lorenza menggenggam tangan Valdo sebelah kanan sembari menatap suaminya sendu. “Valdo, aku datang menjengukmu. Bukalah matamu! Aku tidak sanggup melihatmu seperti ini,” ucapnya lirih di sela tangisannya.
Miranda menggenggam tangan Valdo yang sebelah kiri. “Dad, cepatlah membaik! Kami sangat menyayangimu.” Deraian air mata membasahi wajahnya.
Kimberly tak bisa mendekati Valdo karena ada Lorenza dan Miranda di sana. Dia hanya bisa menatap Valdo dari kejauhan. Dad, aku ingin bilang bahwa aku menang balapan lagi. Aku ingin berbagi kebahagiaanku ini dengan dad. Namun, kenapa harus seperti ini, dad? Cepatlah sembuh, dad!Kimberly memilih duduk di kursi tunggu. Dia segera mengusap buliran air mata yang menetes di pipinya. “Aku harus kuat. Aku tidak boleh menangis,” ucapnya monolog seraya menguatkan dirinya sendiri.
“Menangis di depan orang lain hanya akan membuatmu terlihat lemah, Kim. Jadilah wanita yang kuat dan tegar!” Itulah pesan Valdo setiap Kimberly menangis.
Gadis itu akan selalu mengingatnya. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi wanita yang kuat dan tegar seperti yang diucapkan ayahnya.
***Pagi semua...
Mulai hari ini, aku akan publish ulang cerita Alfrey yang versi novel. Tapi, bertahap dan hanya beberapa part awal aja..😊😊Bagi kalian yg mau beli versi cetak, bisa tabung dulu dari sekarang.. ditunggu ya open PO-nya.. 😉😉 karena, versi novel berbeda versi Wattpad. Kira-kira 95% aku ubah dari awal..

KAMU SEDANG MEMBACA
Inseparable Love ✔ (SUDAH TERBIT)
Romans#1 Racing (20-04-2020) Di balik kematian ayahnya, tersimpan sebuah rahasia besar yang mengungkap identitas Kimberly Schett yang sebenarnya. Orang-orang yang pernah ada di masa lalunya juga bermunculan. Berkat bantuan Alfrey Herwingson-kekasihnya dan...