[03] Celebrum

205 41 20
                                    

Ada hal-hal yang ingin kita ubah,
ada hal-hal yang ingin kita lupakan,
tapi kita hanya bisa pasrah memendamnya.
Kita, tidak mampu.
···

"Eh, cie ... PJ, dong! Gak cerita-cerita lo? Udah main anter jemput aja," ledek Rosa pada gadis berusia dua tahun lebih muda darinya itu.

Ryn yang tengah minum nyaris saja menyemburkan isi mulutnya, "Apaan?"

"Itu, loh, cowok lo yang kemaren," ujar Rosa sengaja memanasi Ryn.

Ingin rasanya Ryn menjitak kepala Rosa kuat-kuat jika saja siang itu mereka tidak sedang dalam kelas Pak Guntur, dosen radiologi yang terkenal dengan ke-killer-an dan ketegasannya. Gadis berusia 19 tahun itu berusaha acuh tak acuh pada ucapan sahabatnya.

"Yah, tau deh yang udah move on, membuka hati. Gue dicuekin yaelah." Rosa memulai lagi.

"Jidat lo move on! Itu mantan gue yang pernah gue ceritain, Goblok!" Ryn mengumpat dengan setengah suara.

Seruan Ryn membungkam Rosa. Gadis tomboy penggila film Suicide Squad itu sejenak terlihat kaget sampai teman di bangku sebelah menoleh. Namun kegagetan itu tidak bertahan lama. Spotanitas Rosa membuat Ryn gemas, apalagi saat ia bertanya, "Lo balikan?"

Demi nama Pak Guntur Sutrisno, Ryn benar-benar ingin menjitaknya! Momen seperti inilah yang terkadang membuat Ryn merenungkan bagaimana bisa dirinya yang casual dan cuek bersahabat dengan makhluk tomboy dan spontan ini. Ia mulai menyesali keputusannya menelepon Rosa kemarin. Gadis berkaos putih itu menghela napas menyahut Rosa, "Nggak, Ros."

Setengah jam terakhir berjalan mulus. Radiologi adalah kelas terakhir Ryn hari ini. Ryn baru saja akan mengajak gadis yang masih setia dengan jin sobeknya itu ke kantin universitas saat tiba-tiba dia berhenti.

"Kenapa?" Ryn bingung melihat Rosa tiba-tiba berhenti di tengah koridor.

"Gue lupa! Ada yang mau gue tanyain tentang materi Radiologi tadi. Lo duluan aja!"

Ryn mengernyitkan dahi. Biasanya Rosa paling malas jika disuruh belajar tentang materi yang tidak dia pahami. Tapi sudahlah, mungkin karena ini kelas Pak Guntur. Lagipula, entah sudah berapa ujiannya tak tuntas. Bersama dengan sneakers putih kesayangannya, Ryn melanjutkan perjalanannya ke kantin yang berada cukup jauh dari posisinya saat ini. Rencananya, ia akan menghabiskan waktu sampai sore di sana.

···

Di sisi lain, Gino tengah berjalan keluar dari gedung Badan Intelegen Negara. Pistol Beretta 92 kesayangannya ia masukan ke saku celana, tidak lupa dikaitkannya sabuk peluru yang tertutup sempurna oleh jaket kulit yang ia pakai. Si agen 006 siap melaju dengan Avanza hitamnya. Di tengah perjalanan, di depannya, terlihat mobil sedan yang pernah ia naiki dulu. Anton, co-leader Phantom Eagles. Setelah setahun sejak bajingan Phantom Eagles itu pergi ke Cina, akhirnya ia kembali. Gino mempercepat laju mobilnya. Dua mobil itu berpisah di perempatan.

···

---Kantin Universitas Angkasa, Jakarta

Siang itu matahari bersinar terik. Ryn duduk sendirian dengan earphone-nya, meneguk segelas jus jeruk yang baru saja ia beli. Ia benar-benar tidak mengerti. Bagaimana bisa kemarin Gino kebetulan berada di sana saat dua preman itu mengepungnya? Di saat-saat sendiri seperti inilah Ryn mulai berpikir serius. Bagaimana mungkin?

Ketenangannya terpaksa buyar saat tiba-tiba kursi di seberangnya berpenghuni. Ia lepaskan earphone itu dari telinganya lalu bertanya, "L- Lo? Tapi ... gimana bisa?"

Laki-laki itu mengeluarkan dompetnya, menunjukan sebuah kartu yang keluar dari sana. Ryn tercengang. Bagaimana bisa Gino memiliki kartu mahasiswa Universitas Angkasa?

Melihat raut bingung di wajah Ryn, Gino hanya tersenyum sekilas sebelum berujar, "Di negara ini masih banyak orang-orang sampah, kan? Mereka yang sudi mensahkan apa saja demi sejumlah rupiah."

Gadis itu diam. Belum kelar keterkejutannya, Gino kembali menyodorkannya sebuah kartu. Tapi kali ini Gino sempat menoleh kiri-kanan dahulu, seolah memastikan tidak ada yang memperhatikan. Ia mengetuk permukaan meja beberapa kali. Tepatnya, permukaan kartu kedua.

Kartu anggota Badan Intelegen Nasional yang dengan jelas mencantumkan identitas Gino. Ryn tercengang. Pasalnya, kartu itu persis dengan yang biasa ia lihat tergantung di name tag aktor film action favoritnya. Selepas Ryn melihatnya, Gino langsung menyimpannya kembali.

"Lo... agen intelegen?" tanya Ryn separuh berbisik, memastikan.

"Hm," gumamnya singkat sambil memperhatikan minuman Ryn yang esnya sudah setengah mencair, "Jangan bilang siapa-siapa. Lo mau tau lebih banyak? Ikut gue. Gue gak bisa jelasin di sini."

Lagi-lagi Ryn bertemu dengan mantan kakak kelasnya itu. Ditatapnya manik mata Gino lekat-lekat sebelum akhirnya mengangguk, "Gue ikut."

---Monumen Nasional, Jakarta

Senja terlihat sangat menenangkan dari bawah Monas. Dua manusia yang sama-sama bersifat acuh tak acuh itu duduk bersebelahan. Gino menjelaskan hubungan dirinya dengan Phantom Eagles.

"Anton, co-leader Phantom Eagles, udah balik ke Jakarta. Lo harus lebih waspada, Ryn."

"Bukannya lo yang harus waspada?" tanya Ryn retoris.

"Incaran dia lo, bukan gue. Jangan tanya gue kenapa." Gino memilih untuk menatap langit jingga.

"Jadi lo mau bales dendam?"

"Kurang lebih. Gue masih gak ikhlas bokap gue mati di tangan penipu. Dan, ya, gue nyesel pernah gabung sama mereka," jelas agen intelegen itu santai.

"Pipi lo, udah mendingan? By the way, thanks udah nolongin gue."

"Hm, bukan apa-apa. Udah, mending kita makan." Gino beranjak dari tempatnya duduk. Ryn menyusul. Mungkin memang lebih baik mengisi perut daripada hanya duduk canggung. Masih di daerah Monas, terlihat seorang bapak menjajakan penganan tradisional khas Jakarta.

"Kerak telornya satu, Pak," pesan Gino yang membuat Ryn heran.

"Lo nggak?"

"Nggak, satu aja."

Kerak telor yang sangat menggugah selera itu sampai di tangan Ryn. Mereka duduk di sana sementara Ryn menikmati makanannya. Tiba-tiba Gino mengoyak sebagian kerak telor itu lalu serta merta melahapnya.

"Modus," dengus Ryn pada mantannya. Masih sama dengan Cassanova Jakarta yang pernah jadi cowok gue.

Gino tidak merespon perkataan Ryn. Ia sadar betul akan kecanggungan di antara mereka setelah kesalahan yang dulu ia lakukan. Hanya saja, Ryn mencoba bersikap seolah tidak ada apa-apa, dan ini benar-benar menggangu Gino.

"Ryn."

"Hm?" Mulutnya masih sibuk mengunyah kerak telor.

"So- Nggak, nggak papa," Gino mengurungkan niatnya. Mungkin, sekarang bukan saat yang tepat, terlalu tiba-tiba.

Jika ada satu hal yang paling Gino benci di dunia ini, itu adalah rasa bersalah. Rasa itu membuatnya merasa seolah-olah ia orang paling bodoh di dunia. Sialnya, rasa bersalah selalu membuntutinya kemanapun ia pergi, terutama rasa bersalahnya pada sang ayah yang belum bisa ia balaskan dendamnya. Ayahnya yang mati di tangan Anton karena obsesi si bajingan pada posisi co-leader yang dahulu belum dipercayakan padanya. Ditambah lagi, rasa bersalahnya pada gadis yang dulu dipanggilnya 'cewek gila' itu.

Semua kata yang ingin Gino sampaikan hanya bisa tertahan di otak besarnya, celebrum. Pusat ingat dan pusat pikir otak manusia, yang terkadang tanpa sadar kita abaikan keberadaannya, kita biarkan menyimpan kata-kata yang sebenarnya ingin sekali kita utarakan pada dunia.

--

AN:

Ikuti terus kelanjutan your name!

Jangan lupa, read.vote.comment. Makasiih.

With love,

Author. 

[YS #1] Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang