[06] Romansa

151 28 2
                                    

Was it just a lie?
If what we had was real,
how could you be fine?
Cause I’m not fine at all.

[5 Seconds of Summers - Amnesia]
•••


---Rumah Sakit, Jakarta Pusat, 2 Hari Setelah Kejadian

Malam semakin dingin menggigit. Ruangan putih tampak tak bernyawa berpadu dengan langit tak berbintang. Sesepi hati Gino yang lama tak berpenghuni. Lama sudah ia memandangi wajah pucat yang terbaring dengan pakaian rumah sakitnya. Pendarahan di punggung kirinya cukup parah dan sialnya Gino bukan orang yang pandai menangani medis. Tapi untungnya, gadis itu tidak apa-apa.

Bukan kali pertama bagi Gino untuk merasakan kehilangan. Dulu, semasa berkabung untuk ayahnya, ia pun menitikan air mata. Namun kini terasa begitu berbeda. Sosok itu masih ada bersamanya, bahkan ia masih bisa menggenggam tangannya, namun rasanya itu belum cukup.

Gino memang bodoh. Bisa-bisanya ia mengikuti kata hatinya untuk luluh pada ketidakacuhan Ryn terhadap kesalahan yang dulu diperbuat. Terlalu bangga untuk mengharapkan kesempatan kedua yang tidak pantas didapatnya. Sekadar berharap permohonan maaf itu akan dikabulkan, walau mungkin itu hanya akan terjadi saat dirinya bertamasya di alam bawah sadar.

Gino bergeming dengan wajah datarnya. Menunggu Ryn terbangun dari tidur 48 jamnya. Tangannya menggengam erat jemari mantannya itu. Otot wajahnya baru bisa mengembangkan senyuman kecil saat kelopak mata Ryn bergerak.

“Udah berapa lama? Gue harus ngejer materi kuliah.” Menjadi seorang mahasiswi kedokteran membuat Ryn cukup pintar untuk tidak menanyakan ‘ini dimana’.

“Gak penting,” jawab Gino memasang ekspresi seolah Ryn terbaring bukan karena melindunginya.

Gadis itu mencoba duduk tegak, “Awh,” rintihnya.

Gino menggeleng melihat sifat cuek Ryn terhadap kesehatannya. Didorongnya pundak Ryn hingga kembali berbaring. Satu tangannya mengesampingkan rambut-rambut nakal yang jatuh di depan wajah mantannya. Mungkin ia memang sudah cukup gila untuk melakukannya. Ditengah dinginnya ruangan itu, Gino menutup kelopak matanya, mulai mengikis jarak, mendaratkan bibirnya di pucuk kepala gadis itu. Mengecupnya lama. Setitik air mata lolos begitu saja.

Gino tau ia salah, bahkan keberadaannya di sekitar Ryn selama ini pun menyulitkan. Maaf, untuk kebohongan yang pernah gue ucapin. Maaf, kalo gue terlalu cuek. Maaf, untuk semua kesalahan yang pernah gue lakuin. Kalimat-kalimat itu seharusnya terlontarkan, jika saja Gino bukan tipe orang yang sama dengan Ryn.

Sorry.”

Ryn hanya manatap laki-laki yang sudah kembali duduk dengan wajah datarnya. Cuek dengan ucapan Gino barusan. Sekali lagi, diluruskannya punggung lalu mencoba berdiri -mengingat yang terluka punggung, bukan kakinya.
Gino mendekati tiang infus Ryn lalu menggesernya mengikuti Ryn. Gadis itu berjalan menuju jendela rumah sakit, menyibak gordennya.

Apa harus, gue percaya sama cowok ini

... lagi?

Gedung-gedung pencakar langit bertatap-tatapan dengannya. Langit yang sepi tak berbintang itu tidak memberinya petunjuk. Bahkan cahaya lampu jalan pun tidak dapat menuntunnya keluar dari permasalahan ini. Bayangan laki-laki itu terpantulkan kaca jendela. Mata mereka bertatapan walau tidak secara langsung.

Haruskah?

Entahlah, di saat seperti ini sangat sulit untuk tidak peduli. Ryn menghela napas dalam, menghembuskannya, lalu berkata, “Gue butuh waktu.”

Laki-laki tampan bersifat acuh tak acuh itu masih setia dengan wajah datarnya, “Gue kesini lagi besok.”

Laki-laki itu membalik tubuh menuju pintu keluar. Dibukanya daun pintu kamar itu dengan berat hati lalu ditutupnya lagi. Bibirnya menyungging membentuk senyum miris.

“Hah,” tawanya miris, “Gue gak papa.”

“Gue gak papa,” ulangnya menghibur diri sendiri, “Gue berhasil.”

Setetes air mata kembali meluncur di pipinya.

•••

Kalau boleh memilih, Ryn akan lebih suka terbangun dengan amnesia. Kalau boleh meminta, Ryn akan meminta orang lain saja yang menjemputnya. Jadi ia tidak perlu mengingat semua hal-hal kecil yang membuatnya bodoh ini. Jadi ia tidak perlu bersusah payah melawan perih yang entah kenapa kembali menyapanya. Satu lagi. Kalau ia boleh berharap, ia ingin melarikan diri dari memori yang terus mengejarnya. Bayang-bayang ayahnya dan... kakak kelasnya itu.

Tell me this is just a dream. Cause I’m really not fine at all.

Thanks,” ucap Ryn lembut saat Gino masuk ke kamarnya lalu membawakan tasnya keluar. Ia pun mengekorinya.

Mobil Avanza hitam andalan Gino membelah jalan raya ibukota negara. Gino tau, tidak mungkin Ryn memaafkannya. Namun tetap saja, mencoba lebih baik daripada tidak sama sekali. Saat itu masih pagi dan jalanan sudah cukup padat oleh kendaraan yang berlomba-lomba sampai di tempat tujuan.

Gino ingat betul saat ia bertemu Ryn di lorong itu. Hari itu, sudah satu minggu ia menyewa apartemen di dekat universitas. Setelah ia membuka kasus Phantom Eagles, ia diinformasikan bahwa anggota Phantom Eagles kerap terlihat di kitaran Universitas Angkasa. Orang-orang biadab itu pasti sudah tau kalau ini ulah Gino. Lebih dari itu, Gino tau kalau salah satu tujuan mereka adalah menangkap Ryn.

Empat kali Gino mendapati kejadian serupa, dimana seorang mahasiswi melintasi lorong dan dicegat. Namun berbeda dengan Ryn, saat gadis-gadis itu menunjukkan kartu identitas mereka, preman-preman itu langsung minggat. Gino terus berjaga, menunggu umpannya keluar supaya ia bisa selangkah lebih dekat pada komplotan mafia itu.

Gino kira rasa bersalah itu tidak terlalu dalam. Sayangnya, rasa itu bergejolak saat matanya menangkap tubuh mungil Ryn dikepung Si Botak dan Si Cokelat. Putung rokok yang semula ia hisap seketika terasa hambar. Dengan pipi tirus, bibir mungil, dan rambut hitam dikuncir satu, gadis itu terlihat begitu berbeda. Dan saat dilihatnya Ryn mulai meronta, ia tak kuasa untuk tidak langsung menghajar dua preman itu.

Hari itu... sudah sangat berbeda dengan sekarang. Saat itu, ia masih acuh tak acuh, sekadar menyelamatkan nyawa Ryn sesaat. Namun sekarang, ia tidak bisa lari, ia ingin gadis itu hidup. Terus hidup sampai kata maafnya diterima. Sampai ia bisa menyudahi semua urusannya dengan Phantom Eagles. Ya, setidaknya sampai detik itu. Kenapa? Ia pun tak kuasa apabila mengungkit hal itu.

•••

Gino memutuskan untuk parkir sejenak di depan universitas, menuntun gadis yang punggungnya masih sedikit kaku itu sampai depan gedung fakultas kedokteran -tentu saja ia tidak diperbolehkan masuk ke area asrama. Beruntung ia selalu membawa kartu ‘ajaib’nya. Gino mengembalikan sling bag hitam itu pada Ryn.

“Gue duluan,” pamitnya seraya meninggalkan usapan lembut di kepala gadis yang memunggunginya itu. Ia mulai melangkah kembali ke mobil.

Gerbang utama Universitas Angkasa sudah ada di depan mata saat tiba-tiba langkah Gino terhenti. Tubuhnya menegang spontan saat sepasang lengan perempuan melingkari pinggangnya. Dua manik hitam beradu sekilas sehingga Gino bisa menangkap tatapan Ryn yang benar-benar sulit untuk diartikan.

Is she that hopeless?

Are they that hopeless?

Rasanya Gino ingin sekali memeluk Ryn balik kalau saja egonya tidak setinggi itu. Diremasnya tangan Ryn beberapa detik lalu dilepaskannya. Hanya butuh sepuluh detik perpisahan baginya, sekadar untuk berbalik dan menepuk pucuk kepala Ryn untuk yang terakhir kalinya. Avanza hitam itu sudah menunggunya. Untuk sekarang, saatnya mengucapkan sampai jumpa pada semua romansa! Saatnya bertugas!

--
AN:
Makasih readers yang udh baca!
Jangan lupa read.vote.comment.
Arigatou! (krik krik krik)

With love,
Author.

[YS #1] Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang