[21] Sudut Pandang

63 14 0
                                    

Ekspresi bisa dimanipulasi, begitupun perkataan
Tapi tidak dengan pikiran dan perasaan
Sepahit apapun, mereka akan terus ada
Dan manusia, tidak pernah dapat menyangkalnya
•••

“Iya, Buk. Gino baik-baik saja,” tukas Gino pada telepon genggamnya.

Hari itu, Gino sedang berdiri di sisi jalan yang sedang lenggang, tepatnya di depan salah satu lampu jalan. Ia resapi nikmat rokok yang sedang ia sesap. Asap halus mengepul di udara. Ratih, ibunda Gino, kembali ke rumah orang tuanya di Bekasi sejak kematian sang suami yang sialnya harus ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Tanpa banyak bertanya merelakan anak tunggalnya merantau ke kota soto betawi, Jakarta. Memang ujian yang berat namun apapun rela Ratih berikan agar anaknya mampu melupakan bayang-bayang kepala Wijaya yang hancur dari kehidupannya. Cukup ia saja yang terluka, jangan anaknya. Satu yang selalu ia tanyakan tiap kali ia menelepon Gino, apa kau baik-baik saja, Nak?

Gino mengembuskan asap rokok lagi.

Pertanyaan itu lagi.

Seribu kali sudah ia menjawab pertanyaan ibunya, dan seribu kali itu pula ia berbohong. Ratih tidak pernah tau dan boleh jadi tidak akan pernah tau tentang semua yang dihadapi Gino di Jakarta. Dari pendidikannya di Sekolah Tinggi Inteligen Negara sampai akhirnya ia terpilih menjadi salah satu agen andalan. Yang wanita itu tau, Gino ikut pelatihan kerja dari pemerintah lalu langsung bekerja di perusahaan swasta.

Bukan maksudnya durhaka, habis mau bagaimana lagi, kan?

Jika berhasil tidak dipuji, jika gagal dicaci maki. Jika hilang tak akan dicari, jika mati tak ada yang mengakui.”

Itu slogan BIN. Demi loyalitas dan kerahasiaan intel bumi pertiwi, bahkan keluarga tak boleh mengendus keberadaan agen. Bertahun-tahun hidup begitu plus resiko besar profesinya, apanya yang baik-baik saja?

Hidup penuh kerahasiaan bersalut dendam dan berisikan rasa bersalah tidak pernah menyenangkan. Hal itulah yang membuat Gino melakukan apa yang dilakukannya sebulan belakangan ini.

Radius 20 meter dari tempatnya, berdiri gedung tinggi yang entah sudah berapa puluh tahun berdiri di sana. Bangunan legendaris itu tidak pernah menarik perhatiannya, tidak sebelum berita pelecehan dua mahasiswi Universitas Angkasa disiarkan di televisi kantornya. Berdasarkan kedua korban, pelaku mengenakan atribut hitam dengan tato elang di belakang lehernya.

Ia tidak tau, tidak pula mengerti. Sejak saat itu, hanya satu yang ia pikirkan. Flyvia Auryniel Wardhana. Gadis itu dalam bahaya. Entah ini hanya instingnya sebagai agen saja, atau memang dugaannya benar. Disinilah dia. Memantau setiap sudut gerbang utama Universitas Angkasa.

Lima puluh menit berselang tanpa kecurigaan. Kawanan walet terbang dengan anggun mengitari gedung, senja telah tiba. Gino membuang puntung rokoknya.

Satu lagi hari yang tersia-siakan. Satu malam lagi ditemani gerakan tubuh resah, pikirnya.

Gino berjalan menjauh, hendak menuju ke kamar kos minggguan yang ia pakai selama sebulan belakangan. Langkahnya gontai, namun wajahnya masih datar. Nama gadis itu terus mengganggu kejernihan otaknya. Demi apapun, ia bahkan rela membunuh untuk menebus rasa bersalahnya. Kalau saja ia sedikit lebih waras dulu, gadis itu pasti bisa hidup aman sekarang. Auryniel. Apakah gadis itu sadar betapa terancamnya ia saat ini? Apa ia sadar telah membuat Gino khawatir setengah mati? Ralat. Gadis itu memang membuatnya khawatir sejak pertama kali Gino mengenalnya. Ya, hari itu, saat pikiran gila merasuki Gino. Saat ia memutuskan untuk menjadikan Ryn korbannya, tumbal kalau bahasa kerennya.

Athala, Auryniel. Mereka sama saja bagi Gino. Dua gadis bodoh yang mau ia bodohi. Yang satu jadi tumbal, yang satu kunci jawaban berjalan. Tapi, sudahlah, toh, Athala memang hanya menginginkan reputasinya dan Gino tidak terlalu bodoh untuk tidak menyadarinya. Dari sekian banyak kenangan bittersweet masa SMA-nya, Gino tidak pernah melupakan saat-saat ia bersama Ryn. Lepas seminggu dari hari ia bergabung dengan Phantom Eagles, rasa bersalah mulai mendatanginya. Ia kira semuanya akan berjalan sesuai ekspetasinya, tinggal menunggu waktu saja sampai Ryn melihatnya bersama Athala, kan? Dan saat itulah Gino jadi punya alasan untuk mengakhiri hubungan mereka. Ia kira semua akan mudah. Ia kira Phantom Eagles bukan penyebab kematian ayahnya. Ia kira ia rasa bersalah itu akan menghilang then everything’s gonna be okay. Ia kira ia bisa melupakan Ryn. Tapi lagi, itu semua hanya perkiraannya.

[YS #1] Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang