[02] Enigma

234 43 14
                                    

Hidup,
baik bagimu hanya sebuah kesalahan, tantangan, kesempatan,
atau apapun itu.
Jalani, selesaikan,
sampai titik darah penghabisan
···

---Safe House Intelegen, Jakarta Utara

Tidak ada yang spesial dari gedung itu. Hanya sebuah ruko dua tingkat bertembok putih gading. Segerombolan bambu rimbun berjejer rapi memagari seakan tidak ingin gedung itu terlihat begitu saja. Gadis bernama Auryniel itu menggerakkan pupilnya kesana kemari, mencoba mengusir perasaan asing semenjak pertama kali ia memasuki 'rumah' Gino.

Ryn tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki itu. Bahkan kini Giorgino Adam Wijaya benar-benar ada di satu atap yang sama dengannya. Dalam ruangan minim perabotan itu, mereka duduk bersisian di depan perapian, menikmati kecanggungan yang sangat kentara di antara mereka. Ryn memasati wajah laki-laki yang tengah asik nenyesap rokoknya. Luka memar di wajah Gino menjadi pemandangan yang sangat mengganggu bagi mahasiswi kedokteran itu.

"Lo ada P3K?" tanya Ryn yang berhasil membuat mata Gino membulat sesaat.

"Dapur," jawab Gino yang tidak berniat mengambilnya sama sekali.

Ryn menuju ke ruangan yang dimaksud. Beruntung, kotak putih itu dapat dengan mudah ia temukan. Tak lupa ia bawa termos, beberapa kubus es batu, dan dua mangkuk kecil bersamanya. Ia pun kembali ke ruang tamu dan mulai berkutat dengan perlengkapan medis tersebut. Dioleskannya obat luar pereda nyeri pada tangan kirinya yang mulai terasa nyeri akibat aksi tarik-menarik. Setelahnya, ia amati wajah lebam di sampingnya.

"Sorry."

Ryn mencelupkan segumpal kain kasa ke dalam mangkuk berisi air dingin, memerasnya sedikit, lalu menepukkannya ke luka memar yang belum lama menghiasi pipi Gino. Laki-laki itu diam saja. Tangan Ryn dengan telaten berganti memasukkan kain ke mangkuk lain yang berisi air hangat. Gino meringis menahan rasa sakit. Tangannya berusaha menjauhkan kain kasa itu dari wajah tampannya.

"Njir! Lo gila, ya? Pipi gue memar lo kasih air anget," umpat Gino. Laki-laki berjaket itu masih berusaha menepis tangan Ryn.

"Lo bisa diem, gak? Ini lagi diobatin juga," tangan kirinya menahan tangan Gino yang sejak tadi mempersulit pekerjaannya, "gue gak pantes disebut anak kedokteran kalo gue berani ngobatin pake air dingin doang. Air dingin cuma ngilangin nyeri sementara, darahnya gak bakal ngalir.  Kalo udah memar gini... Ah, kalo gak ngerti mending gak usah ganggu kerjaan gue," gumam Ryn sementara fokusnya masih tertuju pada luka memar Gino. Finally, setelah bungkam beberapa menit, gadis cuek itu mengomel cukup panjang mengenai bidang yang memang didalaminya.

Gino terdiam. Matanya mengamati si gadis yang tengah fokus mengobatinya dengan telaten. Rasa bersalah itu kembali menghantuinya. Ingatan akan masa lalu kembali terngiang. Gadis ini bukan lagi gadis polos yang tergila-gila padanya, ia telah berubah, dan ini mungkin ... karena dirinya.

"Udah mendingan?" suara itu mengembalikannya ke dunia nyata.

"Lumayan."

"Udah, kan? Ini di mana? Gue harus balik ke asrama."

Gino melempar puntung rokok yang sedang ia pegang ke perapian. Nggak mungkin kan gue bilang yang sebenernya? Bisa-bisa ancur karir gue.

Gino dengan santainya berkata, "Lo gak boleh balik. Di luar sana gak aman buat lo. Setidaknya untuk sekarang nggak."

"Terus gue harus gimana? Besok gue ada kelas siang."

"Lo di sini. Besok pagi gue anter lo." Penuturan Gino membuat Ryn menghela napas pasrah. Sungguh, ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini.

[YS #1] Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang