[04] Trauma

145 36 5
                                    

Kekecewaan adalah luka yang tidak ada obatnya
Itulah mengapa semakin sakit manusia semakin ingat
···

---Kediaman Ryn, 6 April 2014

Saat itu masih gelap, bahkan ayam pun belum berkokok. Gadis itu beranjak bangun dari tempat tidur. Ditengoknya kalender duduk di meja belajar dan seketika kedua sudut bibirnya terangkat. Ia bergegas membasuh diri dan mengganti piyamanya dengan seragam sekolah. Tanpa membuang waktu, ia keluarkan semua bahan yang ia perlukan dari kulkas tepat saat kakinya sampai di dapur.

Ibunya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya, "Ryn, kau benar-benar akan memasaknya?"

"Yap!" sahut Ryn bersemangat sembari mulai meracik.

Sudah genap satu tahun sejak hari itu. Sudah genap enam bulan sejak David Wardhana menceraikan ibunya, Pristin. Namun hal itu tidak menggangu hari-hari Ryn.Ia tetap sama dengan dahulu, masih seorang remaja polos dengan kehidupannya yang ceria. Semakin ceria malah, kalau boleh ditambahkan. Selama ia punya Gino yang selalu ada untuknya, ia tidak apa-apa.Bahkan, untuk kakak kelasnya itu, ia rela bangun lebih awal dan memasak soto betawi kesukaannya.

Sejak ayahnya pergi entah kemana, Ryn tumbuh menjadi anak yang lebih mandiri. Pristin tidak pernah mengekang Ryn, bahkan dalam urusan percintaan. Selama anaknya bahagia, ia pun turut bahagia. Seperti saat ini, Ryn sedang sangat bahagia karena sudah genap satu tahun hubungannya dengan Gino. Lihat saja, tidak ada kesulitan ataupun keluhan yang ia hadapi untuk menyelesaikan hidangan berkuah khas Jakarta itu.

"Coba cicip," Ryn menyodorkan sendok kepada Pristin, "sudah pas atau belum?"

Pristin mengecap soto betawi buatan anaknya, "Pas."

Ryn lalu mendiamkan soto itu sebentar agar uap panasnya hilang. Sepanjang pagi itu, ia terus menyanyikan lagu apa saja yang terbenak di otaknya. Memikirkan wajah Gino saja sudah membuatnya merasa melayang. Kedua sudut bibirnya terasa terjahit ke atas. Jantungnya berdetak seperti habis mengonsumsi ganja. Ia benar-benar tidak sabar melihat reaksi Gino!

···

---SMA Garuda, 6 April 2014

Pagi itu sekolah masih sepi. Bel sekolah baru akan berbunyi setengah jam lagi. Sesampainya Ryn di kelasnya, langsung ia letakkan tas di meja lalu menjinjing paper bag berisi bekal favorit Gino. Agak berlebihan memang, tapi mau bagaimana lagi? Hatinya sedang berbunga-bunga. Senyumannya terus mengembang sampai akhirnya ia sampai di ruang kelas 12 IPA.

Tubuh Ryn membeku di tempat, pandangannya tak lepas dari apa yang ia lihat. Saat ini, benar-benar tidak ingin mempercayai matanya, tapi... semua ini begitu nyata dan ia tak bisa menyangkalnya. Di sana, Gino sedang memeluk Athala, sahabatnya sendiri. Mereka tampak asyik tertawa seakan dunia hanya diciptakan untuk mereka saja. Bahkan sekarang, di depan matanya sendiri, Ryn menyaksikan Gino sedang mencium pipi Athala mesra.

Ryn masih berdiri di depan pintu, tertawa sumbang. Menertawakan dirinya yang dengan bodoh mempercayai Cassanova SMA Garuda itu. Padahal, kalau dipikir-pikir, sudah jelas sekali, kebahagiaan dalam hubungan yang mereka jalani selama ini hanya dirasakan Ryn. Dia sudah berusaha menunjukkannya, tapi mungkin Ryn terlalu buta untuk melihat semua kebohongan di balik kalimat 'gue bakal selalu ada buat lo.'

Rasanya konyol, ketika dia berjuang demi Gino, tapi Gino malah mengangapnya angin lalu. Rasanya semua bunga-bunga yang sempat bermekaran di hati Ryn layu seketika. Dadanya sesak menyadari betapa menyedihkan dirinya di mata Gino. Rasa itu menjalar ke seluruh bagian tubuhnya, pundaknya bergetar. Paper bag yang ia bawa sudah terjatuh, sudah tidak ada artinya lagi. Matanya mulai dibanjiri cairan bening, ia kecewa, sangat kecewa.

Beribu alasan menyuruhnya lari dari kelas itu, namun ia tetap melangkah mendekati mereka, "No, setelah setahun gue mati-matian pertahanin hubungan kita, ini balesan lo?!"

Tangan Ryn mulai menyentuh pundak Gino tanpa memerdulikan keberadaan Athala, "Jawab gue, No..."

"Gue gak kenal! Gak usah pegang-pegang," ia hempaskan tangan Ryn dari bahunya, "Lagian lo juga, gak tau diri. Kenal juga nggak main suka aja," ujar Gino sambil menggandeng Athala.

"Gue gak nyangka, La. Gue bener-bener gak nyangka," lirih Ryn yang tidak ditanggapi oleh sahabatnya.

Selepas itu Gino dan Athala langsung keluar dari kelas, menyisakan Ryn yang lagi-lagi berdiri seperti pecundang, tertawa sumbang. Ia tidak mau membuat drama, namun mau bagaimana lagi? Air matanya terlanjur mengucur deras. Hari itu waktu terasa begitu lambat. Rinai hujan menemani sendunya hati Ryn. Setelah ayahnya, kini Gino? Pupus sudah harapan Ryn untuk mempercayai perkataan laki-laki. Sekarang, hanya tersisa Ryn, embun di jendela kelas, dan trauma.

--

AN:

Sooo, ini adalah flashback akhir hubungan Ryn-Gino semasa duduk di bangku sekolah menengah.

Untuk tau kelanjutan cerita mereka yg sekarang, baca terus your name!

Read.vote.comment <3

With love,

Author.

[YS #1] Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang