Tidak bisakah kuputar waktu
untuk kembali kepada saat
dimana semua manusia hidup tanpa topeng?
•••---Markas Phantom Eagles, Jakarta Utara
"Gue bakal biarin lo liat gue habisin cewek ini, baru lo."
Suara Anton mengintimidasi Gino. Kini mereka berada di markas Phantom Eagles sebenarnya. Sebuah ruangan kecil yang dipenuhi senjata dan bermacam-macam alat yang seharusnya tidak diciptakan.
"No...," lirih Ryn menyayat.
Gino menatap pada gadis yang berada di sisi lain ruangan. Ingin rasanya berlari menyelamatkannya, kalau saja tangan dan kakinya tidak diborgol. Dua anggota Phantom Eagles dengan setia berdiri di sampingnya lengkap dengan senjatanya masing-masing.
Ryn menatap lemah pada Gino. Gino benci ketika harus mengakui bahwa ialah penyebab adanya kekosongan di mata itu. Ryn berdiri di atas sana. Di depannya adalah mulut dari sebuah kolam silindris yang tingginya kurang lebih tiga setengah meter. Tabung itu diisi penuh dengan air dingin. Tangannya terikat dengan pangkal tali dikendalikan Rosa."Lo boleh bunuh gue. Tapi tolong, Ryn gak ada sangkut pautnya dalam masalah ini," ujar Gino pasrah. Lupakan sejenak tentang egonya.
"Lo yakin?" Nada bicara Anton menunjukan keangkuhan dan sinisme. Ia bertatapan dengan kekasihnya. Sama dengan seluruh anggota, Rosa kini mengenakan pakaian ketat serba hitam dengan bordiran elang hitam di semua atributnya.
Anton memetikkan jarinya. Seolah sudah pakem dengan kode itu, Rosa mengeluarkan satu bar isian staples dari sakunya. Dipisahkannya satu dan sisanya ia kantongi. Bahkan dari bawah Rosa terlihat seperti tidak memegang apa-apa. Gadis berpakaian serba hitam itu menggesekan dua sisi terkecil staples itu ke permukaan kulit Ryn bolak-balik, kali ini dua betisnya. Rosa benar-benar menggunakan ilmu fisikanya saat ini. Semakin kecil luas permukaan benda, semakin besar gaya geseknya.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Empat kali.
Lima kali.
Kaki gadis yang dipakaikan dress selutut warna hitam itu bergetar hebat. Sebuah ringisan lolos dari bibirnya. Ringisan itu terdengar amat memilukan. Garis tipis yang memperlihatkan warna darah segar menghiasi betis Ryn. Mantan kekasihnya mulai mengumpat di atas sana dan Gino hanya bisa diam menyaksikan semuanya.
"Lo mundur dan gue bakal bebasin kalian berdua. Deal?" tawar Anton pada Gino yang jelas mengarah pada penutupan kasus pencarian Phantom Eagles.
" Lo ng- nggak boleh mundur." Gino tidak habis pikir. Dalam keadaan seperti ini, masih sempat gadis itu membelanya?
Untuk yang kedua kalinya, petikan jari itu meminta jawaban. Senjata kecil itu menggores kedua lengan atas Ryn tiga kali lebih sadis dari sebelumnya. Tulang punggungnya melengkung ke depan menarik kedua tangannya menjauh dari Rosa.
"Shit," umpatnya bersama dengan lenguhan kesakitan.
"Ryn!" teriak Gino reflek.
"Gu- Gue nggak a- apa-apa..."
Ryn tersenyum lemah pada Gino. Ia ukir sebuah senyum manis yang biasanya akan membuat Gino lupa sejenak pada rasa bersalahnya. Tapi tidak dengan saat ini, Gino semakin tenggelam dalam rasa bersalahnya. Bibir mungil itu bergetar. Gino tau, senyum itu dipaksakan."Gue gak akan mundur," jawab Gino mantap. Masih keras kepala.
"Well, you might need more time to think about it."
Kali ini tanpa aba-aba, dengan tangan bergetar Rosa menggoreskan benda kecil itu ke pipi sahabatnya. Sebelum dua permukaan itu benar-benar bersentuhan, Rosa sempat berbisik, "Maafin gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
[YS #1] Your Name
ActionHidup itu arena perjudian. Berani bertaruh berarti berani tanggung resiko. Seharusnya perjudian usai setelah ia menang. Tapi semua berubah ketika takdir dengan kejinya membawa kembali masa lalu yang ternyata masih bersambung. Semuanya baru saja dim...