[18] Rasa

102 17 0
                                    

You just need to accept.
Some things was meant to be reminded.
But some things was fated to be forgotten.
Life must go on.

•••

Gadis itu mengerjapkan kelopak matanya. Terasa kenyamanan pada tempat kepalanya bersandar. Aroma tembakau samar-samar tercium. Detik itulah seluruh kesadaran Ryn kembali, ketika ia sadar bahwa Gino sudah ada di sana, memberikan bahunya sebagai tempat membaringkan kepala. Mahasiswa kedokteran itu mengangkat kepalanya. Earphone yang semula berada di telinganya sudah melekat satu pada telinga Gino, sedang yang satunya tergantung bebas akibat pergerakannya barusan.

Si laki-laki berjaket menoleh sekilas sebelum akhirnya menatap aspal yang baru saja dimandikan hujan, sama seperti hatinya yang baru saja dimandikan kehangatan dari Rain-nya. Dia, gadis yang pernah ia bohongi, pernah ia sakiti, mulai membukakan pintu hatinya. Secercah harapan itu ada. Tapi... pantaskah?

Ryn menatap Gino –yang nampaknya tenggelam dalam koleksi lagu yang ia pilih- datar. Dikumpulkannya kekuatan. Suaranya tercekat, “Anton... dia kakak gue. Gue-“

“Lo gak baik-baik aja,” potong laki-laki itu seraya mengarahkan kepala Ryn agar kembali menyandar di bahunya.

Gadis itu hanya diam. Sejurus kemudian, lantunan lagu kembali menghiburnya. Ryn merasa hangat seperti hatinya baru saja diselimuti jaket musim dingin. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Seolah semua hujan badai yang terjadi sudah ditepis oleh kemilau pelangi. Semua keraguan tertinggal begitu saja di masa lalu.
Detik terus berdetak sebelum seketika Ryn tidak dapat menyetujui fakta itu. Dunianya terasa berhenti. Getaran pita suara laki-laki itu menghasilkan suara bariton yang sungguh, siapapun tidak akan mampu menolaknya. Laki-laki itu baru saja melontarkan kalimat yang sangat random. Lagi, Ryn dibuat terperanjat oleh seorang Giorgino Adam Wijaya. Ingin sekali ia menyangkal. Tapi Ryn yakin, dari jarak sedekat ini, pendengarannya tidak mungkin keliru.

“Gue emang brengsek. Lo tau itu dari dulu. Terserah lo mau percaya atau nggak. Gue juga gak ngerti kenapa, but its only you,” jantung Ryn berdegup lebih cepat, “lo berhasil bikin gue peduli, Flyvia Auryniel Wardhana.”

Bullshit,” sahutnya acuh tak acuh.
Pandangan gadis yang masih setia pada outer denim-nya itu beralih pada jin yang dikenakan Gino. Bercak merah di paha kiri Gino benar-benar menyita perhatiannya. Tangan dominan Ryn menyingkap jaket kulit Gino. Tubuhnya sontak menegang.
Gino menoleh pada Ryn yang kini mulai melucuti jaket kulit kesayangannya. Tanpa sepatah kata pun, gadis itu mengangkat kaos putih yang di bagian kirinya bernoda. Di hadapannya terpampang luka tembak yang cukup parah. Sekalipun luka itu sudah mulai mengering, Ryn tetap bisa mengidentifikasi bahwa luka itu belum berusia lebih dari 24 jam.

•••

---Kantor Pusat Badan Intelegen Negara, dua jam sebelumnya

Gino berdiri kaku dalam ruangan berinterior modern itu. Dihadapannya Bapak Budiman Suyatmo, kepala Badan Intelegen Negara, duduk di kursi kebanggaannya. Pria paruh baya  yang sudah lama mengenal Gino itu menatapnya tajam. Kacamata yang ia kenakan mengarah ke berkas di tangannya.

“Saudara Gino, apa benar kamu melakukan penyelidikan secara independen?”

Penyelidikan yang ia lakukan selama ini memang ilegal. Gino memejamkan mata, menarik napas pasrah, “Benar, Pak.”

“Berdasarkan laporan yang kami terima, kamu juga melibatkan sejumlah anggota. Benar?”

“Benar, Pak. Saya melibatkan mereka dalam penyelidikan saya.”

[YS #1] Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang