Kita dapat menghapus foto,
tapi tidak dengan kenangan.
Terlebih ketika semua hal seolah terekam oleh otak kita,
bagaimana mungkin melupakannya?
•••---Rumah sakit, Jakarta pusat
“Thanks. Gue gapapa.”
Kalimat itu keluar dari mulut Ryn. Baru saja seorang gadis berambut merah meninggalkannya. Rosa, sahabatnya itu, baru saja menginformasikan tugas-tugas yang ia tinggalkan, mengantarkan pakaian, dan menanyakan kabarnya. Manik hitam gadis itu tak berpindah sejak tadi. Sudah satu setengah jam lamanya Gino berbaring di sana, menghadapi operasi terhadap bagian-bagian kulitnya yang koyak. Tindakan dilakukan di Jakarta Pusat mengingat korelasi rumah sakit itu dengan BIN. Dari balik kaca, Ryn hanya bisa berharap Gino tidak apa-apa.
Sebagai salah satu anggota BIN yang turun langsung ke lapangan, identitas Gino menjadi satu hal yang vital. Tidak banyak yang tau pekerjaannya. Bahkan data rumah sakit menuliskan ‘wiraswasta’ sebagai mata pencahariannya sekalipun beberapa pihak di sana tau. Beberapa waktu kemudian, ranjang Gino dibawa keluar. Operasi berjalan lancar. Ryn mengucapkan terima kasih sekilas pada tim yang bertugas lalu beranjak meninggalkan rumah sakit.
Ryn menutup resleting jaket kulit yang ia kenakan. Walau ia sudah menyemprotkan parfum pada jaket itu, wangi tubuh Gino tetap menyerbak memenuhinya. Ryn menghayati hangat tubuhnya. Dalam saku jaket, si Beretta 92 dan pisau lipat yang sudah Ryn bersihkan tertutup sempurna. Gadis itu menghirup udara segar yang entah sudah berapa lama tidak bisa dinikmatinya. Tangannya berkutat dengan ponsel hingga akhirnya wanita berjaket hijau menjemputnya dengan motor.
•••
---Kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat
Gadis itu memasuki salah satu rumah makan sederhana di kawasan Monumen Nasional. Gedung itu tidak mewah, interiornya didominasi warna putih dan sedikit ornamen khas betawi. Furniturnya dari kayu dan sebagian plastik biasa. Dahulu, semasa putih abu-abu, hampir setiap hari ia makan siang di tempat itu.
“Neng Pia, lama gak keliatan. Mau makan apa?” Seorang laki-laki betawi yang berumur dua kali Ryn, yang biasa Ryn panggil Babe, menyapanya. Ryn tersenyum hangat.
“Via bukan Pia, Babe. Es tehnya satu sama bungkus soto betawi satu aja,” pesan Ryn. Babe tidak pernah memanggilnya dengan nama Ryn. Susah nyebut R, katanya. Jadilah ia dipanggil Via dari nama depannya, Flyvia.
“Ditunggu ya, Neng.”
Beberapa menit kemudian, Babe sudah siap dengan pesanannya. Ryn membasahi kerongkongannya dengan es teh yang ia pesan. Meja ini, tempat yang ia duduki pertama kali ia kesini. Ralat, bukan ia, tapi mereka. Ya, saat itu Ryn selalu datang bersama Gino. Jelas sekali, tempat ini adalah favorit Gino. Rasa soto betawi yang sudah terkenal se-Jakarta mampu memuaskan hasrat makan Gino.
Ryn memandang ke seluruh sudut ruangan. Masih sama, semuanya masih sama. Kursi, meja, pegawai, bahkan tempat itu masih sama ramainya. Soto betawi yang ada dalam kantong plastik mengeluarkan aroma khasnya. Pikiran Ryn terbawa ke masa-masa itu. Dulu, saat semuanya masih tak bercacat.
Anak tunggal Pristin itu melihat sepasang kekasih dengan seragam putih abu-abunya di depan gedung. Yang laki-laki merangkul yang perempuan erat. Mereka berpamitan pada Babe lalu pergi dengan motor ninja. Di sudut lain, terlihat bayangan Babe duduk dengan mereka, ikut bercanda ria sembari sesekali menggodai pasangan itu. Remaja yang berambut hitam lurus itu menyuapi kekasihnya. Laki-laki itu membuka mulut lebar menyantap masakan favoritnya. Kemudian, laki-laki itu mencubit hidung kekasihnya gemas. Babe berdiri lalu memotret kemesraan mereka dengan ponsel si gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
[YS #1] Your Name
ActionHidup itu arena perjudian. Berani bertaruh berarti berani tanggung resiko. Seharusnya perjudian usai setelah ia menang. Tapi semua berubah ketika takdir dengan kejinya membawa kembali masa lalu yang ternyata masih bersambung. Semuanya baru saja dim...