Memang, darah lebih kental dari air
•••---Safe House Intelegen, Jakarta Utara
Jakarta, kota metropolitan yang menyimpan sejuta polemik dan sisi kelam. Jakarta, tempat di mana yang kaya terus bertambah kaya dan yang tidak kaya semakin melarat. Jakarta, tempat mereka beraksi hari itu. Dalam gedung tua yang menyamarkan markas para intelejen, gedung yang sama dengan yang Ryn datangi saat bertemu lagi dengan Gino, semuanya akan dimulai. Entah ini akan menjadi awal atau akhir dari segalanya.
Mereka duduk mengitari sebuah meja panjang. Tidak banyak, hanya kurang lebih sepuluh orang laki-laki dan tiga perempuan. Kalah jumlah jika dibandingkan dengan anggota Phantom Eagles. Ryn ada di sana, di tengah anggota BIN yang tengah mengadakan rapat terakhir sebelum eksekusi Phantom Eagles. Gino, ketua tim itu tidak mengetahui hal tersebut.
“034, senjata siap?” tanya sang ketua pada wakilnya.
“Beres, udah gue atur.” Laki-laki beraksen jawa itu mengangguk mantap.
“401, pihak polisi sudah di posisi?” Yang dimaksud tidak menjawab. Gino menatapnya, alisnya bertaut.
“401.”
“Ah, iya. Udah gue kabarin,” jawabnya.
Tentu saja, dalam hal seperti ini mereka harus berkorelasi dengan kepolisian. Pasalnya, mereka tidak diperkenankan untuk membawa senjata berat –walau pada kenyataannya Gino tetap membawa. Pihak kepolisian bertugas menangkap dan membantu penyerangan, sedangkan anggota BIN merancang strategi dan memancing lawan.
“Jadi ini pertarungan hidup mati. Gue gak jamin kalian bakal balik hidup-hidup. Yang jelas kita harus ngalahin mereka,” pungkas Gino berambisi mengakhiri rapat pagi itu.
Dua mobil meninggalkan gedung, siap menuju markas Phantom Eagles. Menurut rencana, komplotan tersebut akan mengadakan pesta hari itu. Gino menyetir mobil Avanza hitamnya dengan was-was. Pandangannya terus mengamati kaca untuk mengawasi keadaan di belakang.
•••
---Markas Phantom Eagles, Jakarta Utara
Tim berpencar ke posisi masing-masing. Gino, 034, dan 401 selaku tim utama berjongkok di pintu belakang gedung, menajamkan pendengaran.
“034, umpan masuk,” ujar Gino pada portofonnya.
“Diterima,” ujar seorang wanita.
Detik itu, pintu depan berangsur dipadati pasangan-pasangan berpakaian mewah. Nyatanya, mereka adalah anggota BIN yang menyamar. 034 menyeludup membobol pintu belakang gedung dengan kunci multifungsinya. Tersisalah Gino dan 401.
Gino merapatkan tubuh pada gadis bertopi itu. Tanpa ragu, dibukanya topi yang sejak tadi membayangi wajah 401. Gino terkesiap. Tangannya terkepal kuat. Pantas saja, sejak tadi anak buahnya yang satu ini terus menutupi wajahnya. Gino menyentuh bahu gadis itu.
“Gue...” Gadis itu bergumam.
“Ryn?”
“Gue ikut lo.”
“Nggak, gue gak ada waktu untuk ini. Sekarang, lo diem di sini.”
Gadis itu hanya diam sebelum akhirnya mengangguk pasrah. Gino melepaskan sentuhannya, lalu kembali memasangkan topi di kepala Ryn. Sekalipun kondisinya belum seratus persen pulih, Gino tetap kukuh ingin melanjutkan eksekusi. Sebelum berangkat, ia pun sempat menyuntikan cairan-cairan untuk memperkebal tubuh.
“Dengerin gue. Apapun yang lo denger, jangan bergerak. Sampe ada perintah dari gue, anggap aja lo gak denger apa-apa. Apapun, ngerti?” Mata Gino menatap mata Ryn dengan serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
[YS #1] Your Name
AcciónHidup itu arena perjudian. Berani bertaruh berarti berani tanggung resiko. Seharusnya perjudian usai setelah ia menang. Tapi semua berubah ketika takdir dengan kejinya membawa kembali masa lalu yang ternyata masih bersambung. Semuanya baru saja dim...