[05] Nostalgia

146 33 9
                                    


Tidak ada salahnya mencoba
bersahabat dengan masa lalu
•••

---Monumen Nasional, pukul 17.30 WIB

Hari itu senja, sang mentari akan segera bertukar posisi dengan rembulan. Dua makhluk bernama manusia itu masih setia duduk di kitaran Monas, di taman Monas, tepatnya.

“Lo inget?” Mata Ryn berbinar.

Bagi mahasiswi baru seperti Ryn, senja memang selalu menjadi waktu paling sempurna untuk membebaskan diri dari setumpuk materi kuliah. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada otaknya sampai ia nekad menelepon nomor yang sudah ratusan kali ingin dihapusnya dari ponsel, namun entah mengapa selalu disimpannya. Sejak Rosa sibuk mengejar pelajaran tambahan dari dosen-dosen, hanya ini yang dapat Ryn lakukan. Menelepon Gino untuk menemaninya entah kemana saja.

“Lo... beneran masih inget?” tanyanya lagi, masih tidak menyangka bahwa Gino mengingat detail kecil tentang dirinya. Sekotak kismis disodorkan padanya.

“Lo mau apa nggak?” tanya Gino risih dengan tatapan Ryn. Namun di balik risihnya Gino, Ryn masih bisa melihat kelegaan.

“Makasih.”

Tidak banyak yang tau bahwa makanan favorit gadis berjaket denim itu adalah kismis. Aneh memang, karena lazimnya kismis tidak dimakan langsung dari kemasannya. Namun itulah yang sering dilakukan bahkan sedang dilakukan Ryn saat ini.

“Kadang lucu kalo gue inget-inget,” Gino membuka pembicaraan, “dulu lo mau bunuh diri gara-gara bokap lo,” ujarnya seraya tertawa hambar, “lucu. Katanya lo percaya sama gue.”

Ryn terdiam. Perkataan Gino barusan seolah sengaja diucapkan untuk menertawakan kebodohan mereka dulu. Tawa yang sama-sama mereka lontarkan terasa begitu kosong.

“Lucu juga,” Ryn membuang muka, “pas gue inget. Kalo orang yang sekarang duduk bareng gue,” suaranya tertahan, “ternyata orang yang dulu sempet gue percaya. Sebelum akhrnya, gue tau yang sebenernya.”

Bernostalgia. Itulah yang sedang mereka lakukan saat ini. Bersama senja ke dua yang mereka lewati bersama, mereka mengenang cerita lama mereka. Tidak, mereka tidak akan saling menyalahkan. Percuma, tidak akan ada yang berubah dari masa lalu mereka.

“Gue selalu penasaran. Gimana rasa soto betawi masakan lo, tapi giliran lo masak, udah keburu kebuang,” cetus laki-laki bersabuk peluru itu mencoba mencairkan suasana.

Ryn tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Gino, “Lo tau?”

“Hm.”

Obrolan mereka terus berlanjut. Mungkin momen ini bukan momen romantis bagi mereka. Namun setidaknya, dengan adanya momen ini, mereka belajar untuk mengikhlaskan apa yang dahulu sempat menggangu pikiran mereka. Saling terbuka akan kesalahan masing-masing. Lucu memang, ketika kita justru terperangkap bersama sesuatu yang sebenarnya ingin kita lupakan.

“Lo cantik,” goda Gino datar, mencoba menghidupi dirinya semasa duduk di bangku menengah.

“Gue tau,” sahut Ryn sama datarnya.

“Senyum lo lucu,” canda Gino lagi persis seperti saat dirinya menyandang predikat playboy dulu.

“Gue gak tertarik sama gombalan receh lo.”

“Lo lucu. Dari dulu gak berubah, lo lucu,” pungkasnya menutup.

Gino memejamkan matanya, menengadah. Membiarkan udara sejuk dan bau asap khas Jakarta memenuhinya. Flyvia Auryniel Wardhana, gadis itu benar-benar membuatnya gila. Ingin rasanya menyelesaikan semua ini secepatnya agar ia bisa menjauh dari gadis ini. Namun dunia seakan berkonspirasi untuk mengikat mereka.

Ryn memalingkan wajahnya, masih dengan camilan kismisnya. Giorgino Adam Wijaya, laki-laki itu benar-benar berbeda. Seharusnya laki-laki berjulukan agen 006 itu hilang selamanya saja setelah mempermalukan Ryn. Namun bukan Gino namanya jika menyerah secepat itu pada perempuan.

Bodoh, Ryn benar-benar merasa bodoh. Dia sendiri yang bilang bahwa ia sudah selesai dengan semua permainan Gino. Tapi sekarang, ia malah di sini, mengingkari perkataannya sendiri, menikmati semua canda hingga ia lupa rasanya derita.

Tiba-tiba Gino berdiri,  badannya tegap seperti orang kesetanan, entah apa yang ia lihat barusan. Tatapannya berdarah. Tangannya mulai mengeluarkan sahabatnya, Beretta 92.

“Lo ken-“ Ucapan Ryn diinterupsi suara desau angin akibat tembakan Gino.

“Mereka disini.”

“Phantom Eagles?”

“Mungkin,” Gino menggeleng mantap seraya mendecak, “Di dunia gue, lo gak akan pernah tau gimana kejahatan jadi lebih banyak dari yang lo kira dan kematian bisa jadi lebih dekat dari yang lo bayangkan.”

Peluru datang dari arah timur dan barat mereka. Sengit. Dua lawan satu. Sulit untuk melawan dua orang, terutama jika targetmu bersembunyi dengan sangat apik. Aura taman yang sepi itu berubah menjadi tegang. Refleks Gino merengkuh tubuh mungil Ryn kala menyadari kedatangan peluru dari arah tersebut. Ryn hanya bisa diam menatap ke arah lain, benar-benar panik.

“Lo pake ini. Arahin, tarik pelatuknya,” Gino menyumpalkan pistolnya ke dalam genggaman Ryn. Dirinya sendiri sibuk merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya, sambil melindungi Ryn dari peluru. Thanks God for the jacket. Tubuhnya jadi lebih kebal terhadap peluru.

“Gue nggak bisa!” seru Ryn panik mengarahkan pistol itu ke sembarang arah, “Lo kira gue kuliah belajar ginian? Gue nggak bisa!”

Gino merapatkan telinga dan bahunya dengan ponsel pintar di antaranya. Satu tangannya beralih mengambil petasan asap banting yang selalu ia bawa untuk keadaan darurat.

WHOOOSH!

Asap memenuhi salah satu sisi. Tembakan sisi tersebut jadi melenceng. Ia alihkan tangannya yang lain untuk memegang tangan Ryn, “TARIK!” serunya dan peluru sudah melesat jauh dari pistol itu. Ryn yang masih setengah yakin akan apa yang ia lakukan sekarang mulai menembakkan peluru yang tersisa ke arah yang dirasanya tepat. Sementara Gino sibuk menelepon pihak kepolisian dan Badan Intelegen Nasional.

Saat telepon terhubung, Gino langsung melapor, “Agen 006. Monas, serangan!” Beretta 92 ditarik paksa oleh Gino. Diisinya slot peluru hingga penuh.

“Lo ngehindar. Selametin diri,” perintahnya pada Ryn sambil lalu.

“Gue-“ jawab Ryn terpotong, “AWAS!”

Mantan primadona SMP Garuda itu berteriak terengah-engah saking paniknya. Ia dorong Gino sekuat tenaga hingga terkapar. Satu peluru menembus punggung kirinya. Gantian raganya yang terkulai lemah. Suara ramai mendekati area itu. Beberapa armada kepolisian dan agen berjaket kulit mulai memenuhi area taman. Segelintir orang yang masih berada di sana diminta untuk segera meninggalkan tempat kejadian perkara.

Dua orang berbaju serba hitam keluar dari semak, berusaha kabur. Baku tembak sempat terjadi beberapa menit sebelum sedan warna merah bata melaju cepat ke tengah area, menjemput dua orang yang berlarian itu. Anton. Lantas ketiganya kabur dengan tubuh yang dua luka-luka. Polisi memeriksa tempat persembunyian mereka dan membawa beberapa barang bukti untuk diselidiki lebih lanjut. Sebuah sarung tangan motor,persediaan peluru, dan sebuah dompet.

Di tengah keruhnya situasi, Gino keluar dari kerumunan. Tubuh lemah Ryn dibopongnya ke mobil. Tubuh mungil itu rebah di kursi belakang Avanza hitam. Syahdu alunan dari radio menggelitik, pun tak sampai untuk menyudahi resah yang dirasa laki-laki berjaket itu.

“Lo harus bertahan,” lirihnya ketika posisi mentari telah digantikan rembulan, malam sendu. Sama sendunya dengan hati yang masih diliputi rasa bersalah ini. Gundah, takut kehilangan.

“Gue bakal bertahan,” timpal si gadis tepat lima detik sebelum kesadarannya hilang.

--
AN:
Anyway, cerita ini ga bakal jadi apa-apa kalo gak ada pembaca, so thaaanks  for readers.
Jangan lupa untuk terus read.vote.comment :)

With love,
Author.

[YS #1] Your NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang