Mungkin terkadang kita terlalu percaya
pada pelangi di malam hari,
terlalu abai pada hal-hal yang seharusnya kita sadari
•••---Asrama Universitas Angkasa, Jakarta
Minggu biasanya menjadi hari paling membahagiakan bagi Ryn. Tapi tidak dengan hari ini. Pagi itu Ryn terbangun dengan helaan napas pasrah. Dengan langkah gontai ia masuk ke kamar mandi lalu keluar dengan kaos putih dan jeans favoritnya. Rambutnya ia ikat tinggi agar tidak memperkeruh suasana hati. Ia menoleh ke arah tempat tidur yang berantakan di sisi kanannya, ke arah pintu lebih tepatnya.
Di sana Rosa berdiri. Ditatapnya punggung Rosa yang mulai meninggalkan ruangan. Samar-samar terdengar suara percakapan sebelum akhirnya pintu kembali terbuka. Sekembalinya Rosa tiga menit kemudian, gadis berambut merah itu menatap Ryn sekilas tanpa ekspresi. Seluruh kebahagiaan yang biasa terpancar dari matanya hilang begitu saja. Tidak ada lagi kerlingan jahil penuh canda dari sana. Rosa mengambil sebuah tas selempang hitam dan menyampirkannya di bahu. Serta-merta, ia kembali memunggungi sahabatnya. Namun kali ini ia tidak langsung keluar.
“Lo dipanggil Anton,” ucapnya dengan setengah suara.
Ryn menunduk, “Gue tau.”
Ryn mengambil dompet dan ponselnya. Mulai membuntuti kekasih petinggi Phantom Eagles itu. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, memandang ke arah yang berlawanan. Ryn yang mulai merasa tidak nyaman dengan kecanggungan yang tiba-tiba pun mencoba memulai pembicaraan.
“Kalian udah lama?”
Nampaknya ia salah menanyakan hal itu, Rosa hanya berhenti sebentar lalu bergumam, “Kita lewat belakang.”
Rosa mempercepat langkah. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia enggan menjawab. Sebegitu sulitkah untuk sekadar mengabaikan fakta sejenak dan bertindak seolah tidak ada apa-apa?
Mereka keluar dari pintu belakang kampus, sebuah celah kecil yang berujung di sebuah jalan raya yang tidak padat kendaraan. Rosa berjalan menatap lurus ke depan, seolah sudah hapal mati jalur mana yang harus ditempuh. Mereka terus menyusuri trotoar. Sekitar 10 meter jauhnya dari kampus, terlihat sebuah sedan hitam. Delapan meter di depannya, seorang pemuda terlihat tengah sibuk dengan ponselnya.
Saat mereka melewatinya, pemuda itu langsung memimpin di depan mereka. Bahkan pemuda itu langsung membukakan pintu depan saat mereka sampai di mobil. Nyonya muda Phantom Eagles itu hanya mengganguk sekilas. Ryn membuka pintu belakang lalu duduk di sana.
•••
---Markas Phantom Eagles, Jakarta Utara
Mereka disambut oleh beberapa perempuan bergaun hitam. Dua gadis itu diantar kepada Anton. Sesampainya Ryn di ruangan itu, matanya langsung tertuju pada Gino yang berdiri pasrah dalam jeruji besi. Terbesit rasa tak tega sebelum akhirnya ia berjalan mendekati Rosa yang berdiri di sisi Anton.
“Gue udah pikirin mateng-mateng dan gue udah buat keputusan.”
“Well, gue harus kasih tau lo satu hal. Once you are in, you can’t get-“ Out. Ucapannya terpotong.
“Gue gabung,” sergah Ryn cepat.
Mata Rosa membulat. Ia benar-benar tidak menyangka Ryn akan bergabung dengan mereka. Tidak jauh berbeda, co-leader Phantom Eagles juga terkejut. Ini benar-benar diluar dugaannya. Tidak disangkanya membunuh bisa jadi semudah ini.
Rosa mengambil sebuah map bening berisi kertas yang sudah ia siapkan dari tasnya. Kertas yang sama dengan yang dibacakan Anton waktu itu. Ryn mengambil pena yang juga ada di sana.“What’s the deal?”
Ryn memutar-mutar pena yang ia pegang. Apa yang harus ia jaminkan? Ia tidak punya apa-apa. Ia pun tak punya siapa-siapa. Ibunya tidak boleh terlibat dalam hal ini. Dengan tangan bergetar ia tulis lima kata di tempat yang sudah disediakan.
Flyvia Auryniel Wardhana, Universitas Angkasa.
Rosa yang mengurus administrasi Ryn menoleh pada kekasihnya, memastikan apakah jaminan itu valid. Jari lentik Rosa bergerak menunjuk kolom tanda tangan di pojok kanan bawah saat Anton menatapnya dengan tatapan aku tidak peduli. Ryn menandatangi perjanjian. She’s officially a member!
“Ikut gue.”
Anton tersenyum meninggalkan ruangan. Rosa tersenyum tipis pada sahabatnya, “So, apa yang bikin lo gabung? Gue tau lo. Lo bukan orang yang gampang ngambil keputusan.”
“Gue masih mau hidup,” ujar Ryn tersenyum balik.
Seketika senyum Rosa berubah ketir. Ryn benar-benar tidak mengerti. Yang ia lakukan saat ini sangat jauh dari kata ‘hidup’. Gadis berkaos hitam dan jin hitam itu merangkul pundak Ryn. Mereka berjalan beriringan mengikuti Anton.
Gino di sana. Dibiarkan menonton semua yang terjadi. Hancur. Hatinya hancur. Harapan yang sempat ia miliki sudah tidak ada lagi. Rasa bersalah itu kembali menghantui. Gadis itu benar-benar tidak terprediksi. Bahkan Ryn sekarang memilih untuk masuk ke dalam perangkap Anton yang mungkin saja dia sendiri sudah tau akhirnya bagaimana.
•••
Ryn dibawa ke ruang eksekusi. Ruangan dengan kolam silindris yang pernah ia selami waktu itu. Di salah satu sisi ruangan terlihat sebuah lemari kayu yang bagian depannya ditutupi kaca. Berbagai jenis senjata digantung rapi di dalamnya. Anton mendorong salah satu sisi lemari. Secara ajaib lemari itu terdorong berputar. Di belakang lemari tinggi itu ternyata adalah sebuah ruangan kecil yang di dalamnya terdapat berbagai jenis pakaian serba hitam dan sebuah meja di tengah.
Mereka bertiga masuk. Anton duduk di kursi putar lalu memasukkan map yang Rosa berikan padanya ke dalam laci. Rosa membawa Ryn ke salah satu sisi ruangan. Di sana tergantung pakaian serba hitam khusus perempuan. Rosa mengambil salah satunya.
“Kayaknya cocok buat lo. Coba lo pake.” Sebuah kaos hitam ketat dan legging hitam diserahkan pada Ryn. Gadis yang memakai setelan hitam itu menunjuk ke arah tirai yang digantung di sudut ruangan.
Ryn menutup tirai. Saat ia keluar, pakaian itu benar-benar membungkusnya dengan cantik. Gadis cuek yang biasanya terlihat biasa saja seketika terlihat sangat berbeda. Anton tersenyum melihat anggota barunya. Ia dekati kekasihnya. Ia rangkul pundak Rosa lalu dikecup pipinya sekilas. Ryn pura-pura tidak melihat apa-apa.“Besok. Kita harus merayakannya.” Anton mengerling pada Rosa, bibirnya tersenyum puas. Rosa hanya menatap ke arah lain. Ia benar-benar tidak bisa bahagia setelah mengantarkan sahabatnya ke jalan kematian.
“Gue harus kasih tau yang lain. Acara besok, biar anak buah gue yang urus.” Rosa sempat tersenyum pada kekasihnya sebelum akhirnya langsung berjalan meninggalkan ruangan, membuat rangkulan laki-laki itu lepas.
Ryn ikut keluar dari ruangan setelah mendapat ijin dari sang wakil ketua. Tanpa basa-basi, Ryn langsung meninggalkan gedung setelah sebelumnya mengganti pakaiannya. Seragam serba hitamnya dilipat rapi lalu dimasukkan dalam paper bag yang ia minta dari Anton. Ia kembali bertolak ke kampus. Untuk sementara, masalahnya teratasi dan ia akan baik-baik saja. Setidaknya demikian yang ada di benak anak David Wardhana itu.
Berbanding terbalik dengan Ryn, pikiran Rosa persis benang kusut sekarang. Biasanya ia tidak pernah sekacau ini. Ia benar-benar tidak bermaksud berkhianat pada siapapun. Tapi ia juga tidak mau sahabatnya dikorbankan.
Gue harus ngelakuin sesuatu.
--
AN:
Ryn masuk Phantom Eagles, gimana nasib Gino, nih?
Baca terus kelanjutan Your Name, ya!
Jangan lupa read.vote.comment.With love,
Author.
KAMU SEDANG MEMBACA
[YS #1] Your Name
ActionHidup itu arena perjudian. Berani bertaruh berarti berani tanggung resiko. Seharusnya perjudian usai setelah ia menang. Tapi semua berubah ketika takdir dengan kejinya membawa kembali masa lalu yang ternyata masih bersambung. Semuanya baru saja dim...