Sembilan

116 5 1
                                    

   Ia berjalan dengan santainya setelah keluar dari mobilnya. Ia berjalan di koridor menuju kelasnya. Ia telah melupakan kejadian di minimarket kemarin. Lebih baik seperti itu dari pada harus memikirkannya sepanjang hari. Dipikir penting apa ngurusin hidup Irfan.

Ale melewati depan kelas 12 IPA 2. Dia tidak melihat ke empat cogan itu. Mungkin mereka belum berangkat atau mungkin belum sampai di sekolahan. Ale tersenyum lalu mengintip sedikit di jendela kelas IPA 2. Bima belum datang maupun Danish. Diam-diam Ale menunggu kehadiran Danish. Dan ia akan mengatakan terimakasih karena sudah memberi dadanya untuk Ale menangis di sana.

Ia rasa cukup untuk memandangi kelas Danish. Ia putuskan untuk segera ke kelasnya sendiri. Ia menoleh ke depan. Dan...

Bruk!!

Gelap.

Ale memegang kain yang ada di wajahnya itu. Ia mengambil dan melihat Danish yang sudah di depannya. Ale mengernyit. Baju siapa ini.

"Itu baju gue" ucap Danish seolah tahu isi hati Ale.

"Terus mau diapain Danish?" Tanya Ale polos.

"Cuciin" titahnya.

Ale mengernyit. Apa maksud Danish menyuruhnya untuk mencucikan bajunya Danish. Apa mesin cuci di rumah Danish sedang rusak. Ah, itu kemungkinannya.

"Mesin cuci di rumah Danish rusak ya? Mesin cuci di rumah Ale juga rusak dulu. Ale punya nomor nya tukang mesin cuci. Danish mau?" Tawar Ale panjang yang tak ada respon dari Danish.

"Gue minta cuciin baju yang kena air mata kemarin"

Ale terbelalak. Ia tak menyangka akan seperti itu. Dengan senang hati, Ale menerimanya. Ale tersenyum senang.

"Oke boss! Ale nanti beli parfum laundry dulu ya, biar wangi" ujar Ale semangat. Danish mengangguk.

"Mm..makasih ya Danish, kemarin udah ngasih bahu Danish buat Ale" ucapnya tulus.

Danish mengangguk singkat lalu melengos masuk ke kelasnya. Ale pun sama. Ale mencium baju Danish. Ah, aroma yang sangat khas. Ale sangat suka aroma seperti ini. Sama ketika Ale memeluk Danish kemarin. Seulas senyum terukir ketika mengingat kejadian kemarin. Danish datang ketika hati Ale benar-benar rapuh, dan dengan ikhlas Danish mau memberikan dadanya untuk Ale menangis.

Lesi bergidik ketika melihat Ale senyam-senyum sendiri. Lesi jadi percaya bahwa Ale memang punya gangguan jiwa. Dari kemarin Lesi sudah menebak. Ale tersenyum hingga matanya benar-benar menyipit.

"Lo habis ngapain? Kok senyam-senyum?" Tanya Lesi

"Liat mang Jajang lagi ena-ena sama istrinya" ucapnya sekenanya.

Lesi melotot. Tuh kan! Makin gak beres tu anak. Lesi menggeleng kepalanya.
Tatapan Lesi menurun dan menatap kaos berwarna abu-abu yang di genggam Ale.

"Baju siapa?" Tanya Lesi lagi.

Ale mengikuti arah pandangan Lesi. Ale mengangkat baju itu. "Ini baju Danish. Tadi Danish suruh cuciin Ale."

Lesi terbelalak. "Nyuruh Lo? Emangnya Lo budaknya?" Tanya Lesi dengan terkekeh.

"Enggak. Jadi kemarin itu...."

"Ale!" Panggil Bima di ambang pintu.

Bima menghampiri Ale yang ada di dalam kelas. Bima tersenyum manis.

"Nonton basket yuk. Sekalian jalan-jalan. Hari ini guru-guru pada rapat"

Ale membulatkan matanya senang. Saat inilah yang Ale tunggu. Siswa-siswi dapat berbuat sesukanya jika seperti ini. karena semua guru akan mengadakan rapat. Dan inilah surga dunia di Sekolah Menengah Atas.

NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang