Duapuluh Satu - mimpi itu

64 4 0
                                    

         Kegiatannya terhenti ketika mendengar sesuatu dari mulut seseorang. Ale menoleh ketika mendengar ada seseorang berbicara kepadanya. Raut wajah Ale berubah ketika mengetahui siapa dia.

"Apa?" Tanya Ale datar.

"buku lo ketinggalan di meja Lo. Gue liat tadi terus gue bawa. Barangkali kalo ini penting" ucapnya.

Ale bersedekap tangan. Menyaut buku itu dengan cepat. "Udah kan?" Tanya Ale lagi. Entah kenapa setiap menghadapi Raya, Ale menjadi berani.

Ale berjalan mendekat ke Raya. "udah dramanya?" Tanya Ale semakin ngotot. Ia mengertakkan giginya.

"Ale gak butuh bantuan. Dan buku ini?..."

Plakkk..

Ale membuangnya di lantai begitu saja. "..gak begitu penting" Ale mulai menginjak bukunya.
"Biarlah yang sampah tetap sampah! Dan sampah seperti dirimu tidak bisa di daur ulang! Camkan itu Raya" ujar Ale penuh penekanan dan meninggalkan bukunya begitu saja.

Raya tertegun. Apa dirinya seburuk itukah? Raya menatap nanar buku itu. Lalu mengambilnya.
"Terserah apa kata Lo Ale. Gue masih menganggap Lo temen gue."

"Temen?"

Tanya seseorang dari belakang. Raya segera menoleh ke belakang. Raya membulatkan matanya ketika melihat Erika sudah berdiri di belakangnya dengan bersedekap tangan.

"Cara Lo itu basi. Gue udah tahu banyak kok, tentang Lo dan Ale. Ale udah gak nganggap Lo temen. Tapi sayang, elo masih nganggap dia temen. Miris banget sih, idup Lo. Gak enak ya, jadi pelakor. Sahabat sendiri lagi" celoteh Erika berjalan mendekat dan menuding Raya.

Erika mulai berani karena sekolah sudah sepi. Seharusnya ini waktu pulang sekolah. Tapi tujuannya untuk pulang pun terhambat karena ia harus menyaksikan adu bacot Ale dan Raya. Sangat menarik baginya.
Raya membulatkan matanya. Merasa aneh karena tiba-tiba Erika berubah jadi gadis licik. Padahal Raya berasumsi bahwa Erika kalem dan jauh berbeda dari apa yang ia lihat sekarang ini.

"Rika Lo..." ucap Raya menggantung.

"Iya..kenapa? Kaget? Santai aja sih." Erika mulai mengelus rambut Raya. Raya langsung menepisnya dengan kasar.

"Ways, santai aja kali. Kan gue udah bilang"

"Mau apa Lo?" Tanya Raya.

"Sampah! Itukan julukan Lo?" Tanya Erika tersenyum miring.

"Diem Lo anjing" umpat Raya yang tak tertahankan lagi.

"Gue emang anjing. Anjing masih bisa jinak. Sedangkan sampah macam Lo? Harus disingkirkan dari sekolah ini. Yaa, bukannya gue bela si Ale sih. Gue benci Ale. Karena dia perlahan merebut Danish dari gue. Dan entah mengapa gue juga benci sama Lo. Cara lo itu norak tahu gak? Gak berkelas banget."

Raya semakin di pojokan. Dan tiba-tiba hatinya terasa aneh ketika menyebut nama Danish. Erika dekat dengan Danish maksudnya? Raya meneguk ludahnya. Ia mulai berani. Ia maju dan mendorong tubuh Erika.

"Dasar gak punya harga diri! Gadis macam apa Lo ini? Deketin Danish ada maunya kan? Ngomong - ngomong, gue udah liat cara Lo ke gue ini, nunjukin kalo Lo emang ada apa-apa deketin Danish. Benarkan tebakan gue? Gak punya otak!" Balas Raya tak kalah pedas

Erika mendorong Raya hingga jatuh ke lantai.
"Aww!!" Desahnya.

"Lo yang ngaca bego! Gue masih bisa jaga diri. Gue gak akan nyakitin Danish. Karena gue sayang sama dia. Iya, waktu itu emang tujuan gue itu. Tapi sayang, Lo salah sekarang. Gue udah sayang sama Danish. Dan sekarang gue yang tanya, Lebih parah nikung sahabat atau nguras kekayaan yang hanya wacana? Sejelek-jeleknya gue, sebangsat-bangsatnya gue. Gue masih mikir perasaan sahabat gue. Tapi gue gak pernah mikir perasaan musuh gue. Karena bersimpati pada musuh, sama saja orang tergoblok yang pernah gue ketahui. Denger itu bangsat sampah!"

NyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang