1

2.6K 185 41
                                    

[Buku dicetak pertama kali Bulan Februari 2018]

PAGI masih gelap saat Hamas yang baru saja selesai salat Subuh di masjid komplek, melangkah panjang-panjang demi segera tiba berada di rumah. Mesin mobil BMW X5 milik ayahnya sudah menyala, seolah menanti kedatangan Hamas sejak tadi. Ada Papi dan Pak Didin, sopir keluarga mereka, di sana. Mengabaikan keduanya, Hamas berlari menuju pintu. Napasnya satu-dua ketika mendapati Mami sudah di depan pintu, memutar kunci dengan baik. Senyum Mami mengembang melihat putranya sudah kembali dari masjid.

"Semuanya udah di mobil, Hamas. Koper, jaket, tas ransel, sepatu juga," kata Mami begitu dilihatnya Hamas hendak masuk ke dalam rumah.

"Topi?" tanya Hamas.

Mami merapikan kerah baju batik yang dikenakan Hamas.

"Udah. Sarapan kamu juga udah di mobil. Nanti makan di bandara aja ya?"

"Paling nanti dapet makan dari travelnya, Mi."

Hamas memundurkan langkah, sebelum berbalik menuju mobil. Tapi langkah kakinya terhenti begitu dilihatnya Mami mengembuskan napas pendek. Seolah kalimat Hamas barusan, menyakiti hati Mami. Jadi, Hamas menyunggingkan senyum.

Dia teringat kata-kata Saad tentang menyenangkan hati orangtua, terutama ibunya sendiri. Jadi Hamas melontarkan kalimat penenang untuk Mami.

"Tapi selow, masakan Mami nanti abis duluan!" ucap Hamas dengan jempol teracung. Cukup mumpuni menghadirkan senyum lebar di wajah Mami.

Suara pintu mobil ditutup, terdengar. Ada Papi yang baru saja keluar dari pintu di samping pengemudi.

"Mi, dompet Papi ketinggalan kayaknya," kata Papi, sambil meraba saku celananya sendiri, di bagian belakang.

"Ini, Pi, udah Mami bawain," Mami menepuk tas tangannya, menghampiri Papi dan menyerahkan dompet yang dimaksud.

"Hebat Mami mah, juara," kata Pak Haritsah. "Din, udah oke semua?" tanyanya pada Pak Didin.

"Udah, Tuan," kata Pak Didin, yang berdiri di samping pintu pengemudi.

"Hayok, berangkat. Udah hampir jam lima, Mas."

Dan tanpa disuruh dua kali, Hamas bergegas menuju kursi di belakang kursi pengemudi. Mami duduk di samping Hamas, dan Papi duduk di sebelah Pak Didin.

.

.

.

BUKAN tanpa maksud jika Hamas sudah siap sedia bahkan sebelum Subuh tiba. Dia nyaris tidak tidur semalaman demi mempersiapkan perjalanan yang akan dijalaninya keesokan hari.

Senang sekaligus tak sabar bukan main, tentu saja.

Pagi ini, Hamas harus segera menuju bandar udara internasional Soekarno Hatta, untuk bertolak dari Jakarta menuju Madinah demi menjalankan ibadah umrah yang sudah dia pinta beberapa bulan lalu pada Papi. Dan hari ini Hamas akan berangkat bersama Saad. Ini akan menjadi perjalanan terjauh yang pertama kali dijalani oleh Hamas bersama Saad. Dan Hamas berharap banyak, setidaknya semoga hatinya kian tergugah dengan Islam.

Bukan apa-apa, setelah mengenal sosok Saad, Hamas menjadi begitu penasaran akan Islam. Keindahan agama yang sudah Hamas yakini sejak lahir, rupanya sudah dirasakan Saad lebih dulu. Hati Hamas yang gersang akan Islam, perlahan diisi cahaya oleh Allah, melalui penjabaran Saad atas satu-satunya agama yang diridhai di sisi Allah.

Dan begitu mengetahui bahwa ibadah umrah ini adalah satu dari sekian hal yang disukai Saad, maka Hamas memberanikan diri mengajak sahabatnya untuk ibadah bersama.

[✓] HAMASSAAD SAFARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang