13

94 14 0
                                    

SAAD tersentak dari tidurnya ketika kedua rungunya mendengar suara Pak Ahmad berbicara melalui pengeras suara. Di samping kirinya, jalanan melintas cepat. Hari sudah malam rupanya. Entah jam berapa. Di samping kanannya, ada Hamas yang sedang mengunyah roti.

"Udah bangun lau," kata Hamas. Disodorkannya roti yang ada di tangannya pada Saad. "Mau?"

Saad menggeleng pelan, menarik tubuhnya ke arah kiri, bersandar pada jendela bus. Kendaraan ini masih melaju dengan kecepatan sedang. Ditemani dengan hingar bingar suara Pak Ahmad. Saad mengambil botol minum air zam-zam milik Hamas, meminum isinya.

"Bapak dan Ibu bisa lihat di sebelah sana sudah mulai kelihatan jam besar ya, Zamzam Tower, menara tertinggi ke dua di dunia. Kalau malam memang gemerlap lampunya. Kita insyaaAllah stay di sana selama di Mekah."

Satu bus terdiam. Dan seluruh jamaah menoleh ke arah yang ditunjuk Pak Ahmad. Tak ketinggalan Duo Ganteng. Satu menara tinggi terlihat di kejauhan di cahaya malam.

Dengan punggung menegak dan jantung yang berdetak kian cepat, seiring dengan itu hati Saad juga diselimuti kesejukan. mengobati sedihnya di kala terpaksa harus meninggalkan kota Madinah. Akhirnya dia tiba di kota Mekah.

Kota kelahiran Nabi Besar Muhammad Shallallaahu 'Alayhi Wasallam. Di kota ini lah RasulAllah Shallallaahu 'Alayhi Wasallam dan para Sahabat Beliau yang ada dalam Ashabiqunal Awwalun yang dijamin masuk surga, merasakan perjuangan teramat sangat berat memerangi kaum Quraisy.

Di sinilah rindunya yang berat selalu berbisik memanggil. Di sinilah hati Saad senantiasa terikat.

Sedangkan Hamas, dia menikmati gemuruh dalam dadanya ketika melihat menara jam yang tinggi itu. Dia sering melihat banyak gambar tentang Mekah dan menara jam itu selalu ikut serta.

Maka ini berarti, dia sudah berada di tanah Haram, tanah suci tempat beribadah mereka nanti.

Dia, dan Saad akan berada di depan kabah yang selama ini selalu dibahas oleh Saad dengan begitu semringah dan gegap gempita. Dia akan menjadi saksi dari sekian milyar orang yang pernah ke sana, bahwa peninggalan para Nabi itu benar adanya.

Dia, di Mekah.

"Saik! Bentar lagi sampe, boi," kata Hamas, senang bukan kepalang. Tangan kirinya terkepal, kemudian tinju pelannya melayang pada lengan Saad. Tawa kecilnya terdengar.

Hamas tidak pernah sesenang ini ketika tiba di negara-negara lainnya di seluruh dunia yang sudah pernah ia datangi. Senang, memang. Tapi bahagia yang meluap-luap, baru sekarang ia rasakan.

Saad tidak menyahut, melainkan kepalanya merunduk, lantas tangannya bergerak demi menyeka sebetik air yang jatuh di sudut matanya.

Melihat hal itu, Hamas menarik Saad dalam rangkulannya. Menepuk-nepuk pundak Saad dengan bersemangat. Sementara Pak Ahmad melanjutkan penjelasannya di depan.

"Sebentar lagi, kira-kira lima belas atau dua puluh menit, kita akan sampai di hotel. Mungkin sekitar jam sepuluh. Nanti Bapak dan Ibu langsung diarahkan menuju lantai dua, tempat salat berjamaah bisa dilaksanakan. Kita akan jamak qashar berjamaah, Magrib dan Isya. Untuk koper Bapak dan Ibu, akan ditangani oleh tim kami. Bapak dan Ibu begitu selesai salat, kita bisa bersama-sama menuju Masjidil Haram," kata Pak Ahmad.

Ada desir halus mengaliri aliran darah Hamas begitu mendengar arahan Pak Ahmad.

Menuju Masjidil Haram.

Ah, rasanya ini semua seperti mimpi.

"Jangan lupa doa talbiyah-nya. Semoga Allah mudahkan kita sampai selesai prosesi umrahnya," lanjut Pak Ahmad. "Nah, di sebelah kiri sebentar lagi kita akan melewati Masjid Aisyah. Masjid ini juga tempat untuk mengambil miqot para warga Mekah, selain di Ji'ronah. Mereka biasanya ke sini jika ingin ibadah umrah. Begitu, Bapak dan Ibu..."

Kepala para jamaah tertoleh ke arah kiri, menikmati pemandangan masjid yang juga sama cantiknya dengan namanya. Terlihat megah dan menyala terang.

Masjid Aisyah di Tanah Haram.

"Terus kenapa kita miqot di Masjid Bir Ali dah, Ad?' tanya Hamas begitu mereka melewati Masjid Aisyah.

"Ya karena umumnya di sana miqot-nya, Mas. Rasul juga terbiasa miqot di sana. Sekalian sunnah aja," kata Saad. "Di sana juga lebih leluasa, enak buat parkir bus. Kayaknya sih gitu."

Hamas mengangguk paham. Bus mulai menjauhi Masjid Aisyah, mengarah pada Menara jam yang terlihat sungguh menantang untuk ditemui.

Sepanjang jalan terlihat bukit-bukit batu dengan beberapa gedung setinggi lima atau enam lantai. Sepertinya itu penginapan atau semacam flat untuk tempat tinggal penduduk Mekah. Namun agaknya bukan wilayah tinggal penduduk sekitar. Jadi yang terlihat sepanjang jalan hanya bukit pasir tanpa keramaian pada umumnya.

Tepat pukul sepuluh malam, bus berhenti di depan lobi utama Raffles Makkah Palace Arab Saudi yang terletak di kompleks Abraj Al-Bait..

"Alhamdulillaah, kita sudah tiba..." kali ini Pak Ahmad bicara tanpa pengeras suara. "Silakan segera menuju lantai dua untuk salat berjamaah. Untuk yang ingin cuci muka, jangan pakai sabun dulu ya, Bapak dan Ibu,' ucapnya. "Oh iya tentang makan malam, bisa disantap nanti bakda prosesi umrah. Atau untuk yang ingin stay di Masjidil Haram sampai Subuh, monggo. Roti-roti ini bisa dibawa untuk sekadar mengisi perut."

Pak Ahmad menunjuk dua kardus roti yang ada di dekatnya. Rupanya tadi roti-roti itu dibagikan, tiga bungkus per orang pada pukul tujuh malam. Karena Saad tertidur jadi rotinya masih utuh.

"Antum lapar ngga, Mas?" tanya Saad selagi mereka menunggu antrean untuk turun.

Hamas melirik Saad kemudian berpikir sejenak sebelum menjawab. Dia tahu, Saad pasti mengajak untuk tetap berada di Masjidil Haram sampai Subuh.

"Ngga sik. Bawa roti lagi aja tapi yak?" respons Hamas.

Saad mengangguk setuju. Tiga bungkus roti miliknya sudah tenggelam di dasar tas serut yang biasa mereka kenakan. Lalu begitu permisi melewati Pak Ahmad, Hamas mengambil empat bungkus roti, sedangkan Saad mengambil tiga bungkus lagi.

Sebab teringat pesan Hana dan pengalamannya selama berteman dengan Hamas, bahwa pemuda itu memang agak galak ketika rasa lapar menyerang.[]

[✓] HAMASSAAD SAFARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang