8

136 24 0
                                    

Muhammad Nabina bi nuru hadiina

Min Makkah habibi nuru satho'al Madiinah

Min sholla sholaatuh, wit halab shifaatuh

Ya bakhtilif dhuluh ma'syi yushfa'luh fimamatuh

-::-


JAM setengah dua belas, mereka sudah berada di bus. Dalam perjalanan kembali ke hotel, Pak Ahmad menjelaskan banyak hal. Termasuk jadwal mereka untuk sore nanti sehabis Asar. Mereka dijadwalkan untuk mendatangi Museum Asmaul Husna dan berkeliling Masjid Nabawi. Bagi jamaah perempuan jika ingin ke Raudhah lagi, maka bisa ke sana nanti malam bersama muthowifah yang pernah mengantar mereka.

Di perjalanan menuju Masjid Nabawi, bus yang mereka tumpangi melewati masjid Qiblatain dan Masjid Khandaq.

Saad menyikut Hamas yang asik main ponsel. Memberitahu sahabatnya itu ketika mereka melewati Masjid Qiblatain.

Menoleh cepat, Hamas mendapati satu bangunan megah yang bercat putih. Mirip dengan Masjid Quba yang tadi mereka datangi.

"Lah, lewat doang, Ad?" tanya Hamas begitu menyadari bus mereka tidak berbelok untuk parker.

Saad mengangguk. "Iya, lewat doang. Makanya besok pagi kita ngebolang ke sini."

Saad mencondongkan tubuhnya, berpuas-puas menikmati pemandangan Masjid Qiblatain dari kaca jendela besar yang ada di sisi kiri Hamas. Selanjutnya dia menarik kembali tubuhnya dan duduk seperti biasa.

"Laper euy," kata Saad.

Hamas tertawa mendengarnya. "Tumben lau laper!"

"Capek, Mas."

"Capek yak lari dari kenyataan?" Hamas terbahak sendiri.

Saad nyengir, "Capek motoin antum dari tadi."

Tawa Hamas kian keras.

BAKDA salat Zuhur, jam satu sampai jam tiga siang, adalah jadwal untuk makan siang di hotel. Menu yang disajikan bisa dibilang cukup banyak pilihannya. Kebanyakan menu western dan Indonesia.

Saad ke hotel dengan membawa kotak makan. Dia merencanakan untuk berdiam di Masjid Nabawi dengan membawa bekal. Rendang kering buatan Fatima sudah ada di kamar hotel, tapi nasinya belum.

"Yang banyak lah," kata Hamas pada Saad ketika melihat Saad memasukkan nasi ke dalam kotak.

Padahal sejak tadi Hamas bersikeras untuk membeli nasi di restoran jelang Magrib mereka ke Nabawi.

"Habis teu?" tanya Saad.

"Abis. Elah, selow," Hamas menepuk perutnya sendiri. Kemudian lanjut mengambil makan siangnya.

Mendengarnya, Saad menambah nasi lagi ke dalam kotak bekalnya.

Mereka duduk di dekat Pak Ahmad yang duduk satu meja bersama Pak Roy dan Steven. Dari apa yang tertangkap oleh telinga mereka, meja sebelah membahas tentang jadwal umrah yang dijadwalkan besok lusa, setelah salat Jumat.

Jumat siang, bakda salat Zuhur dan makan siang, mereka akan bertolak ke Mekah. Mengambil miqot di Masjid Bir Ali, dan langsung melaksanakan prosesi umrah setibanya di Mekah.

Hamas menguap lebar dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Dia mengantuk sekali. Rasanya daya tubuhnya berkurang banyak.

Tapi lihatlah Saad. Duduknya masih tegap, makannya masih lahap. Matanya masih berbinar, semangatnya masih terpancar.

[✓] HAMASSAAD SAFARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang