2

206 26 0
                                    

TIBA di Priority Lounge, Hamas dan Saad lekas menuju satu meja. Lounge memang merupakan ruang tunggu, dengan layanan makanan dan minuman yang seperti Hamas duga tadi. Dan kalau dihitung, ada sekitar dua puluh jamaah yang ada di dalam lounge. Tidak banyak, sebab travel yang Hamas dan Saad ikuti adalah travel priority, seperti nama lounge yang sedang mereka tempati sekarang.

Dengan penerbangan first class dari Garuda Indonesia, travel menyajikan berbagai kemudahan di tanah suci nantinya. Hotel yang dekat dengan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, lantas kesediaan lounge seperti ini, dan masih banyak hal lainnya yang memang sungguh kelas Hamas dalam melakukan perjalanan jauh.

Hamas mengambil jus apel sebagai minuman mereka di lounge ini. Saad hanya air mineral biasa.

"Assalamu'alaykum, Bapak dan Ibu semuanya," Pengurus yang bernama Ahmad tadi rupanya sudah bergabung kembali bersama jamaah. "Alhamdulillaah kopernya sudah aman. Sudah check in, dan kami akan membagikan boarding pass serta name tag. Di name tag terdapat foto masing-masing jamaah, dan nomor telepon tempat jamaah selama di Madinah dan Mekah," urai Pak Ahmad, si Pengurus. "Jadi nanti semisal, Bapak dan Ibu lupa hotelnya di sebelah mana, bisa hubungi nomor tersebut untuk diarahkan. Atau telepon saya, nomor hape saya ada di grup chat. Bisa disimpan, siapa tahu membutuhkan. Dan untuk paspor, tetap kami simpan. Alhamdulillaah ada pertolongan Allah di bagian imigrasi. Jadi kita ndak usah mengantri untuk cek imigrasi. Bisa langsung menuju pesawat," tambahnya.

Hamas mengalungkan name tag tersebut ke lehernya. Jaketnya sudah terlepas dan kini tersampir di sandaran kursi. Ponsel Hamas sudah bersiap untuk selfie bersama Saad.

"Keberangkatan sekitar dua jam lagi, sekarang silakan disantap menu yang ada ya, Bapak dan Ibu. Syukran..." kata Pak Ahmad.

"Udah sarapan belum, Mas?" tanya Saad. Tangannya memegang selembar boarding pass.

"Beluman lah. Abis Subuh langsung ngacir ke sini," sahut Hamas. Tangannya menggapai tas ranselnya dengan malas. Mengeluarkan satu kotak nasi dari sana. "Si Mami gue bilang juga apa, palingan nanti disediain makanan di bandara. Maksa gue bawa bekel. Hadeeeh..."

"Ya makan punya nyokap lo dulu aja," kata Saad. "Enakan itu. Dibikin pake cinta tuh, Mas. Beda sama yang ada di sini."

Hamas mendelik, "Lama kelamaan gue ngerasa elu kesambet Mami. Elah, kaga usah ngerusak mood gue dah. Sekarang gue kudu ngabisin ini bekel neh. Gimana dah?"

"Coba buka, antum dibawain apaan."

Menurut, Hamas membuka kotak makannya. Ada nasi goreng putih dengan taburan bawang goreng. Satu telur mata sapi goreng, suiran ayam di dekat telur, dan rupanya di atas nasi goreng ada lelehan keju mozarela.

Saad meneguk ludah demi melihat hidangan yang disiapkan Mami untuk Hamas.

"Antum ngga mau? Sini buat gue aja," Saad menarik kotak makan milik Hamas.

Tapi kotak tersebut ditarik kembali.

"Elu belum makan emangnya?" tanya Hamas.

"Udah sih, tadi makan di resto di bandara sini. Dari Bandung jam dua belas, Mas. Sampe sini jam tigaan. Ini aja gue mandi jam sebelas tadi malam," Saad tertawa, lantas mengendus bau tubuhnya sendiri dari lengan baju batiknya. "Ngga bau kan ya?"

"Auk ah," kata Hamas, yang jikalau Saad bau pun, itu bukan masalah sama sekali baginya. "Lu mau nasgor bikinan Mami? Nih, makan."

Kotak itu bergeser lagi.

Sesungguhnya, begitu melihat Saad seantusias barusan, Hamas mendadak jadi ingin sekali menyantap nasi goreng yang dijadikan bekal oleh Mami. Sebab tiba-tiba saja nasi goreng buatan Mami, terlihat menggugah selera.

[✓] HAMASSAAD SAFARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang