HAMAS menolak makan di restoran. Dia menginginkan layanan hotel untuk membawakan makanan yang ingin dia makan di kamar. Dan Saad juga harus makan di kamar, bersama dengannya. Hamas tidak mau makan sendirian atau ditinggal di kamar hotel sendirian.
Dan lagi-lagi Saad teringat pesan Hanun untuk berhati-hati jika Hamas sedang kelelahan. Sebab pemuda ini bisa menjadi sangat menyusahkan.
Dan sekarang Saad membuktikan sendiri, setelah sekian kali membuktikan selagi berteman dengan Hamas di tanah air.
Pak Ahmad menemui Hamas dan Saad di lobi. Menyerahkan selembar kartu untuk mengakses pintu kamar yang berada di lantai dua belas tersebut. Beruntung, lift yang tersedia di hotel cukup banyak. Jadi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan lift yang mengantar mereka ke lantai dua belas.
Pintu lift terbuka.
Karpet kelabu menyambut mereka di koridor kamar-kamar hotel. Ada banyak pintu dan Saad memerhatikan mereka satu per satu.
Kamar mereka adalah 1209. Di depan mereka adalah kamar nomor 1203. Di sebelah kanan adalah 1204, berarti mereka harus mengambil jalan ke kanan.
Hamas terhuyung mengikuti langkah Saad yang masih saja tegap. Dia heran, apa yang dimakan Saad sampai Saad tidak merasakan letih sama sekali?
"Nanti jalan ke Haram sebelum Zuhur, Mas. Kita makan siang di luar aja, sekalian beli makan malam. Jadi abis salat Isya, ngga usah keluar masjid lagi. Balik ke hotel bakda Subuh. Gimana?"
Mereka sudah tiba di depan kamar dengan pintu bernomor 1209.
Hamas, yang sungguh ingin bemesraan dengan kasur dan teman-temannya itu, memilih mengangguk dengan mata yang terkatup. Gumaman 'hmm' oleh suara beratnya, terdengar kemudian.
Pintu kamar 1209 terbuka setelah Saad memasukkan kartu ke dalam lubang yang tersedia. Dan entah Saad harus terkejut atau bagaimana, tapi kamar yang akan mereka tempati ini sungguh lebih mewah daripada kamar mereka di Hotel Sofraa Al Huda di Madinah.
Ada sofa besar di ruang pertama yang mereka temui. Hamas sudah tidak mempedulikan di ruangan itu ada sofa besar, karpet tebal, televisi yang menempel di dinding, lukisan pemandangan, hiasan-hiasan dan entah apa lah itu. Dia hanya butuh kasur. Itu saja.
Jadi Hamas melesatkan langkah menuju tempat tidur yang ada di ruang satunya lagi. Bergegas melemparkan dirinya ke atas kasur empuk yang sanggup memberinya kenikmatan untuk memejamkan mata dalam detik berikutnya.
Saad memilih melongok dapur. Ada kompor gas yang bisa digunakan di sana. Lalu satu dispenser yang bisa mengeluarkan air hangat dan dingin. Ada sekotak teh celup beserta gula, kopi, dan krimer. Saad melongok kulkas dan mendapatinya berisi minuman ringan berderet di bagian pintunya sedangkan bagian lemarinya kosong melompong.
Saad berbalik, melangkah menuju kamar tidur yang diisi dengan satu ranjang king size berisikan Hamas yang rebah dalam lelapnya dengan kedua tangan terbuka lebar memenuhi ranjang tersebut. Ada dua meja kecil di sisi kanan dan kiri ranjang. Yang satu berisi lampu kamar dengan jam digital di sebelahnya. Yang satu lagi mejanya berisi lampu kamar juga dengan telepon yang bisa digunakan untuk memesan layanan kamar.
Ada televisi menempel di segaris lurus dengan ranjang, kemudian sofa yang muat untuk satu orang, beserta meja dengan Al Quran di atasnya. Gordennya masih menutup.
Berhubung ini masih pagi, Saad berinisiatif membuka gorden berwarna hijau pucat tersebut untuk melihat pemandangan di luar dari lantai dua belas hotel ini.
"MasyaaAllah..."
Saad berdecak kagum. Berdiri dalam diam menatap pemandangan yang dia dapatkan seusai membuka gorden barusan. Memanjakan kedua netranya.
Masjidil Haram lengkap dengan Ka'bahnya.
Cuaca pagi ini cukup cerah. Dan lagi tadi ketika mereka berjalan pulang, Saad merasa cuaca cukup sejuk, tidak terlalu panas seperti di Madinah. Dia berpikir mungkin tubuhnya mulai terbiasa dengan cuaca di tanah suci, atau memang cuacanya sedang sejuk? Entahlah.
Yang jelas, sebaik-baiknya layanan hotel kelas atas begini, tidak bisa menandingi nikmat beribadah di dalam Masjidil Haram.
Tidak akan pernah sama.
Saad menoleh ketika didengarnya pintu kamar diketuk dari luar, teriring bunyi bel pelan yang berbunyi di sekeliling kamar.
Pelayan hotel mengantarkan makanan yang dipesan Hamas untuk mereka berdua.
Saad meminta pelayan hotel itu untuk meletakkannya di atas meja di dekat sofa besar. Biarlah mereka makan nanti, sebab Hamas masih jatuh dalam tidurnya. Saad paham Hamas begitu lelah dengan serangkaian ibadah yang dilakukan Hamas untuk menyejajari apa yang Saad lakukan.
Jam digital di kamar hotel tersebut menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit. Saad menarik kopernya yang masih terkunci, lantas mengambil handuk dan peralatan mandi begitu kopernya berhasil dibuka.
Sebaiknya dia salat Dhuha dulu, baru makan pagi begitu sukses membangunkan Hamas dari tidurnya, barulah Saad berencana untuk tidur juga. Bagaimanapun, dia manusia biasa dan butuh istirahat.
.
.
.
Mereka terbangun sekitar jam sepuluh. Saad yang lebih dulu bangun, bergegas membersihkan diri, baru setelah semua selesai, dia membangunkan Hamas.
Tidak mudah membangunkan raksasa yang sedang tertidur seperti Hamas sekarang. Berkali-kali Saad tidak mendapat respons apa pun karena Hamas terlihat seperti mati di atas tempat tidur itu. Hanya napasnya yang naik turun yang menandakan dia masih hidup.
Saad berkacak inggang, lantas menjepit jempol kaki kanan Hamas dengan ibu jari dan telunjuknya. Menariknya sekuat tenaga.
Barulah lenguhan Hamas kemudian terdengar.
Terbukti, cara itu lebih ampuh daripada membangun-kan Hamas dengan mengguncang pundaknya.
"Bangun. Sarapan dulu, Mas," kata Saad dari dekat jendela. Matanya lurus menatap Ka'bah yang ada tak jauh dari sana.
Saad menoleh lagi, hanya untuk mendapati Hamas yang masih terkapar di atas kasur. Mata dan rahangnya masih mengatup.
"Mas, first day di Mekah nih, masa lo tidur..." Saad kembali menarik jempol kaki Hamas. Membuat Hamas serta merta menegakkan leher. Kepalanya menoleh ke kanan dengan lemah, smeentara matanya tetap tertutup.
"HM?" gumam Hamas dengan suara beratnya. Detik berikutnya, kepalanya terkulai lagi di atas bantal.
"Ya udah, gue ke Masjidil Haram sendirian aja," kata Saad kemudian. "Gue makan duluan. Nanti kalau lo ke Haram, cari-cari aja gue di depan Multazam, kayak tempat kita i'tikaf semal---"
"Jangan sukaknya ngancem-ngancem lu, Ad," gerutu Hamas tiba-tiba.
Saad menahan ucapannya, tapi senyum kemenangan terukir di sana.
Tidak ada pergerakan dari tubuh Hamas, hingga lima belas detik kemudian dia dengan terpaksa menarik tubuhnya dari tempat tidur.
Hamas berjalan dengan langkah terseok, tidak memakai alas kaki apa pun ketika kakinya menjejak di karpet sepanjang jalan menuju kamar mandi. Wajahnya agak bengkak karena tertidur terlalu pulas atau malah karena kurang tidur. Dengan mata yang sedikit terbuka, Hamas berusaha mencari jalan ke kamar mandi. Dan dia terantuk pintu kamar mandi ketika berusaha membukanya.
Saad yang sudah rapi dengan setelan baju koko warna krem dan celana bahan warna birunya, duduk di sofa. Dia tertawa sambil geleng-geleng kepala seraya mulai menyantap sarapannya yang kini telah dingin[]
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] HAMASSAAD SAFAR
SpiritualKenalilah sahabatmu, dengan pergi safar bersamanya. Season 5 yak ini :D Khayran insyaaAllah