5

1.5K 143 15
                                    

KEDUA kelopak mata Hamas mengerjap pelan. Kepalanya bergerak seiring dia menoleh. Ruang kamar tidurnya terlihat gelap sebab lampu-lampu dimatikan. Hanya lampu temaram yang membuatnya bisa melihat ke penjuru kamar.

Sepertinya dia sendirian di kamar ini.

Sekujur tubuhnya diserang rasa sakit, terlebih di bagian leher. Bagian belakang kepala Hamas kembali menempel pada bantal yang sejak tadi menyangganya. Dia baru ingat, saat ini tengah berbaring di satu kamar hotel di kota Madinah. Dia baru tiba di Madinah siang tadi.

Hamas memejamkan matanya lagi. Kelebatan tiang-tiang Masjid Nabawi hadir ketika dia hendak tidur kembali. Tapi bayangan wajah Saad menghantamnya keras-keras.

Wajah Saad yang terlihat begitu semringah sepanjang beribadah di Masjid Nabawi, menyentak kesadaran Hamas kuat-kuat.

Ke mana dah itu bocah?

Hamas baru menyadari, harusnya Saad juga berada di kamar ini.

Hamas menguap lebar dan menutupnya dengan guling. Dia bergerak pelan sembari tangannya yang panjang meraih ponselnya yang ia letakkan di meja dekat tempat tidur.

Angka dua dan empat puluh menghiasi home screen ponselnya begitu kunci layar terbuka.

Ada beberapa notifikasi di sana. Dari aplikasi WhatsApp dan sebagian lain dari sosial media. Hamas menyentuh notifikasi chat. Dari berbagai grup, terutama dari Mami.

Menggulir layar ponsel dengan malas, Hamas membalas chat Mami yang bertanya dia sedang apa. Perbedaan waktu sekitar empat jam membuat Hamas paham bahwa di Jakarta sedang jelang pukul tujuh pagi. Pantas Mami bertanya Hamas sarapan apa di Madinah.

Keheningan yang sejak tadi menyergap, membuat Hamas iseng juga. Omong-omong, ke mana sahabatnya pergi?

Eh, tunggu...

Kalau lo kecapekan, ya ngga apa-apa, biar gue aja. Tapi nanti Subuh jangan kesiangan.

"Lah, bocah ke manain dah?" gerutu Hamas. Tangannya sibuk mencari kontak Saad di buku telepon dalam ponselnya. Dalam hitungan detik, Hamas menghubungi Saad yang kini entah di mana.

Dering ponsel terdengar di meja dekat sofa. Punggung Hamas menegak, menyadari bahwa ponsel Saad lah yang berbunyi di sana.

Itu artinya, Saad pergi tanpa membawa ponsel. Dan berarti tidak bisa dihubungi.

Hamas melompat dari tempat tidur. Membuang ponselnya secara sembarang di atas kasur. Dia mengintip keluar jendela, memandangi bangunan dengan kubah hijau yang terlihat dari kamar hotel mereka. Hamas menggaruk lehernya pelan, gemas sendiri dengan kenyataan bahwa dia dibiarkan tidur sendirian di kamar, sedangkan Saad pergi ke Masjid Nabawi lagi.

"Hanjir, gue beneran ditinggal!" makinya seorang diri.

Kakinya bergegas menuju koper besar miliknya. Membukanya dengan tak sabar dan mengeluarkan satu jumper hitam dari sana. Hawa dingin dari pendingin ruangan masih terasa, sama terasanya seperti pegal dan penat yang masih setia menghantam sekujur tubuhnya.

Dia mengenakan jumper hoodie-nya dengan secepat kilat. Pandangannya mengarah pada jendela yang masih menampilkan pemandangan bangunan berkubah hijau, yaitu Masjid Nabawi. Tangannya meraih ponsel, dan name tag. Mengalungkan name tag tersebut dalam hitungan detik kemudian menyembunyikannya di balik jumper. Dalam hati menggerutu.

Sial, kalau soal ibadah, Saad benar tidak pernah main-main. Bahkan saat sedang penat seperti sekarang, seperti kata Saad tadi, mumpung di Madinah...

[✓] HAMASSAAD SAFARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang