4

135 21 0
                                    

"Mas, antum seriusan?" tanya Saad begitu mereka tiba di kamar hotel yang sudah disediakan oleh pihak travel.

Kalau pelayanan pesawat saja menggunakan kelas bisnis, maka pelayanan kamar hotelnya tak jauh berbeda.

Selain ada tempat tidur, juga ada sofa untuk menonton televisi (yang Saad sangsi untuk menontonnya. Dia lebih cinta ibadah, right?) dan di ruang dekat sofa ada semacam kompor yang bisa dinyalakan, galon berisi air minum (yang tidak akan diminum oleh Saad sebab dia lebih pilih minum air zam-zam) serta kamar mandi dengan bathub dan perlengkapannya.

Tapi yang jadi pertanyaan adalah hanya ada satu tempat tidur ukuran king size di sana. Biasanya kamar untuk dua orang akan diisi oleh dua single bed.

"Gue tidur di sofa," kata Saad akhirnya.

Hamas, yang sudah berbaring dengan posisi bintang laut sejak tadi, mendengus sebal.

"Ya elah, Ad, gue juga biasanya tidur sekasur sama elu," katanya ketus. "Laga-lagaan lu mau tidur di sofa."

Saad menghela napas pendek. "Ya ini kan lagi luar biasa, Mas. Biasanya single bed dikasihnya. Ini pasti ada error. Nanti gue tanya Pak Ahmad."

"Kaga error," kata Hamas, berguling pelan tanpa berniat bangun dari sana. "Emang gue yang minta. Gue kaga betah lah tidur di single bed. Sempit, nyet. Tadinya gue minta room isinya king size dua, kaga dikasih. Katanya mubazir. Bacot emang tuh pihak travelnya. Salahin dia, jangan salahin gue!"

Saad menangkap emosi dari nada suara Hamas. Jadi, daripada sahabatnya itu kadung badmood, sebaiknya dia sudahi saja perdebatan tiada guna ini.

Toh, apa yang dibilang Hamas ada benarnya. Mereka bukan kali ini tidur bersama. Hanya saja, tadi Saad sempat terpikir, takut tidur Hamas terganggu selama di sini.

"Geser, geser," kata Saad pada Hamas yang masih memenuhi tempat tidur dengan tubuhnya yang menjulang.

Saad ikut berbaring di sana setelah Hamas menggeser sedikit tubuhnya. Tak lama, tawa Saad terdengar.

"Ngapa dah ini bocah?"

Hamas bergidik ngeri. Tapi kemudian seruan Saad terdengar.

"MADINAH, MAS! MADINAH!"

Saad melompat setelah berseru seperti barusan. Kedua tangannya menangkup pipi Hamas, mengguncangnya dengan gemas.

"MasyaaAllah," kata Saad lagi. "Gue kangen berat sama ini tempat. Dan sekarang gue di sini lagi atas izin Allah."

Kedua tangan Saad terkepal, kepalanya merunduk, matanya terpejam.

"MasyaaAllah, Allah Maha Baik," Saad kembali menangkupkan kedua tangannya di pipi Hamas. Hingga yang punya pipi meronta minta dilepaskan. "Di depan sana," Saad menunjuk ke arah jendela yang menampilkan pemandangan bangunan megah berkubah hijau, "ada Masjid Nabawi. Lo tahu salat di sana..."

"Nilainya seribu pahala," sahut Hamas, nyengir senang.

"Nilainya seribu pahala!" ulang Saad. Kemudian turun dari tempat tidur. "Magriban di sana ngga boleh telat, Mas. Gue mandi duluan. Assalamu'alaykum!"

Hamas melongo, takjub dengan apa yang didapatinya. Rupanya Saad bisa alig luar biasa jika sudah berhubungan dengan Masjid Nabawi seperti yang tadi itu.

Bola mata Hamas mengikuti Saad yang kini membongkar koper besarnya, mengambil handuk dan baju ganti serta peralatan mandi yang ia bawa dari Indonesia.

Pintu kamar mandi menutup dengan segera begitu Saad menghilang di baliknya. Tapi dua detik kemudian, pintu itu terbuka lagi.

"Jangan tidur lagi, Mas. Gue siram kalau tidur!" kata Saad dengan kepala melongok keluar.

[✓] HAMASSAAD SAFARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang