20

86 14 0
                                    

TIBA di museum tempat tersimpannya benda-benda bersejarah dari dua masjid suci yakni Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, Hamas berfoto terlebih dahulu di depannya.

Dengan arsitektur bagian depan yang dimiripkan dengan masjid Nabawi saat ini, museum ini terasa menarik untuk dikunjungi. Terlebih bagi seorang Hamas yang benar-benar tidak suka dengan sejarah.

Bangunan museum terbagi menjadi 7 ruangan yaitu Reception Hall, Al Masjed Al Haram Hall, the Ka'aba Al Musharaf Hall, The photographic Hall, Inscription & Manuscript Hall, The Prophet's Mosque Hall, dan Zam-zam Well Hall.

Rombongan melewati pintu utama dan segera berada di area Reception Hall. Di sana terdapat miniatur Masjidil Haram di mana para pengunjung bisa melihat rencana perluasan Masjidil Haram di beberapa tahun kemudian.

"Wah, jadi lega banget ini mah," kata Hamas, mengagumi miniatur di depannya. Kalau di Jakarta banyak miniatur apartemen-apartemen mewah, di sini dia melihat area Masjidil Haram yang diperluas sekian-sekian.

Saad beralih pada galeri foto yang menempel di dinding. Tersimpan baik dalam bingkai-bingkai kaca, fot-foto itu menunjukkan tampilan atau gambar tentang Masjid Nabawi dan Masjidil Haram ketika belum direnovasi besar-besaran.

"Lah, ini mana terasnya?" tanya Hamas begitu melihat gambar Masjid Nabawi di masa lampau.

Ya, renovasi awal Masjid Nabawi belum seluas sekarang dengan teras marmer dan payung-payung yang terbuka dan menutup, memberikan suhu sejuk jika bernaung di bawahnya.

Zaman dahulu, Nabawi hanya seperti masjid biasa pada umumnya. Berkubah hijau dengan menara tinggi. Ada stau mobil terparkir di dekatnya, menandakan ketiadaan teras yang biasanya dipakai untuk duduk-duduk jamaah di saat-saat seperti sekarang.

"Dulu pas zaman Nabi malah ngga begini-begini banget, Mas," kata Saad, bergerak memerhatikan proses berkembangnya Masjid Nabawi.

Setelah puas dengan melihat rupa-rupa pembangaunan dua masjid tersebut, keduanya melangkah memasuki area Al Masjed Al Haram Hall. Di sini terdapat benda bersejarah yaitu tangga kayu menuju pintu Ka'bah yang digunakan tahun 1240 H. Tangga kayu ini memiliki desain yang unik dan menjadi salah satu pusat perhatian di hall ini.

Saad menyentuh tangga kayu ini dengan kekaguman luar biasa. Sedangkan Hamas menyayangkan adanya penghalang untuk menaiki tangga yang berarti tangga tidak boleh dinaiki sembarangan orang.

"Yah, kaga boleh naek," keluh Hamas, jelas kecewa.

"Ya jangan, nanti pada poto nge-hits di sini," kata Saad, tertawa. Hamas mencibir sebal.

"Elah, kayak lau kaga hits ae!" komentar Hamas, beralih pada macam-macam kiswah. "Alig, nih kalau di Masjidil Haram pada gelantungan di sini!" serunya. "Ad, potoin, Ad!"

Saad mengeluarkan ponselnya, memotret Hamas yang meletakkan kedua tangannya di bagian etalase yang menyimpan kiswah tersebut.

"Padahal mah doanya tuh di multazam ya, tapi orang gelantungan di kiswah," kata Saad, masih takjub sendiri kalau mengingat perjuangan untuk mencapai hajar aswad.

Memang tidak ada kewajiban untuk menyentuh apalagi mencium hajar aswad.

Seperti yang dikatakan Umar Bin Khaththab yang diriwayatkan oleh hadits Imam Muslim; Seandainya bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.

Tapi bagi orang-orang yang mengelilingi Ka'bah, setidaknya mereka berkeinginan untuk paling tidak satu kali menyentuh oleh-oleh dari surga tersebut.

Jadi, kemarin begitu selesai makan siang dan kembali masuk ke area dalam Masjidil Haram, mereka melaksanakan thawaf sunnah dan Hamas memaksakan diri untuk menyentuh hajar aswad. Usut punya usut ternyata dia begitu ingin berjuang menyentuh hajar aswad dikarenakan teringat. Dulu saja dia berjuang untuk bisa touch hand dengan artis pujaannya di konser-konser yang senantiasa ia datangi. Lantas kenapa dia tidak melakukan effort apa pun terhadap hajar aswad?

Nebus dosa masa lalu, Ad, begitu kata Hamas kemarin.

Mereka melanjutkan eksplor museum dengan semangat yang tidak surut. Pun demikian rombongan lainnya asik mengelilingi museum, membaca tulisan yang ada dan memotretnya beberapa kali.

Hamas menarik Saad begitu mereka tiba di satu pintu masuk Ka'bah. Pintunya tinggi dan besar, berwarna keemasan. Pintu ini yang biasanya ditutupi kiswah berbahan dasar sutra.

Mereka berfoto di sana dengan bantuan seseorang entah siapa yang kebetulan lewat. Hamas juga meminta Saad untuk memfotonya seorang diri di depan pintu tersebut.

Eksplor berlanjut, menikmati hal-hal lain yang bisa ditemui di museum ini. Seperti sumur zamzam pada zaman dulu, dan hal-hal lainnya.

Merekam jejak dua masjid suci dalam satu tempat.

Sekitar jam sebelas, Pak Ahmad meminta agar rombongan segera berada di dalam bus. Mereka akan kembali ke hotel untuk bersiap-siap menyambut azan Zuhur.[]

[✓] HAMASSAAD SAFARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang