"Mengapa Harus saya pak? Saya tidak bisa melakukannya.” Nelza tidak habis fikir dengan rencana Pak Hamid. Sedari tadi dia sudah menolak, namun Pak Hamid masih bersikeras. Nelza harus melakukannya.
“Kamu ketua PIK-R Nelza. Urusan seperti ini adalah tanggung jawab kamu. Project yang kamu buat nanti akan berpengaruh terhadap nama baik kamu dan jabatan kamu. Tentu ini menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi kamu.”
“Iya saya mengerti pak. Tapi saya sama sekali tidak berminat.” Tolak Nelza.
“Kamu tentunya mau jika kamu diriwayatkan sebagai ketua PIK-R terbaik sepanjang sejarah di SMA Pancasila, bukan? Inilah Kesempatan untuk kamu. Saya kurang baik apa lagi Nelza, kamu beruntung mendapat tawaran seperti ini.”
Nelza tampak berfikir. Lama dia berfikir. Pak Hamid sabar menunggu jawaban darinya. Tawaran Pak Hamid sungguh menggiurkan. Sebuah pencapaian luar biasa jika dia benar-benar menjdi Ketua PIK-R terbaik sepanjang sejarah. Tapi dia masih merasa tidak terima jika harus menjalankan apa yang Pak Hamid rencanakan padanya.
“Saya kan pikirkan lagi, pak.” Ucapnya pelan.
“Saya tunggu hingga besok. Saya berharap penuh padamu.” Ucap Pak Hamid yang berharap Nelza setuju.
Nelza mengangguk. Dia beranjak dari kursinya lalu keluar meninggalkan Pak Hamid. Fikirannya penuh dengan banyak pandangan. Antara pro dan kontra.
Dia benar-benar bimbang. Keputusan apa yang lebih baik dari menolak tawaran demi kenyamanan Atau menerimanya dan mendapat pencapaian emas namun harus berada dalam dunia yang tidak di inginkan.
mereka nakal karena mereka punya beban
mereka nakal karena mereka punya beban
mereka nakal karena mereka punya bebanLangkahnya terhenti. Pemikiran barusan membuatnya terhenyak. Dia berfikir lebih dalam. Ada yang mengganjal sehingga membuatnya pada pilihan pro-nya.
Pantaskah keputusan tiba-tiba itu menjadi keputusan sebenarnya? Rasa bimbangnya menyeruak ke seluruh tubuhnya. Dunia memaksanya kepada dua pilihan yang sama-sama dapat menghantamnya di kemudian hari.
Nelza yang ingin menuju perputakaan sekilas melihat Nada. Perempuan itu berjalan dengan lenggang di sepanjang koridor menuju kantin. Murid-murid lainnya tampak menghindarinya. Dia berjalan dengan wajah angkuhnya seperti tidak ada beban dalam hidupnya.
Nelza menaikkan sebelah alisnya. Dia baru menyadari bahwa saat ini Nada terdaftar menjadi murid yang di takuti di SMA Pancasila.
Dia semakin menatap Nada lamat-lamat dari kejauhan. Dia berfikir mengapa Nada begitu bangganya dengan kasus yang ada pada dirinya. Nelza yang masih di ambang pintu perpustakaan tak henti menggeleng melihat tingkah Nada.
Dibalik Nelza yang beranjak masuk ke perpustakaan, disana, tepatnya di koridor, Langkah Nada terhenti, bisikan salah satu murid kepada murid yang lain terdengar olehnya.
Hal itu membuat tangannya terkepal. Darahnya mendesir hebat hingga ke ubun-ubun. Suasana dalam dirinya begitu panas. Dia menatap tajam kedua murid itu.
Mereka menghentikan ucapan mereka lalu menatap Nada dengan ketakutan yang nyata.
Nada melangkah dekat kepada kedua murid perempuan itu. Matanya masih menatap mereka. Tatapan kebencian.
“Tadi lo bisikan apa?” Tanya Nada yang masih menahan emosinya.
Kedua murid itu hanya diam dan menunduk. Kaki mereka begetar seperti tidak mampu menahan beban tubuh mereka lagi.
Mereka sepertinya anak kelas XI, tampak dari simbol di bahu mereka. Namun Nada tidak peduli siapapun mereka. Kini emosi menguasai dirinya.
“Kalian ngerti bahasa gue kan?” Suara Nada makin meninggi. Membuat seluruh pasang mata saat itu memperhatikan mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT BUMI
Teen FictionNada yang tidak memiliki tujuan dalam hidupnya. Apakah dia salah jika tidak menerima apa yang di putuskan takdir untuknya? Bisakah dia hidup dengan rasa tidak terima? Nada asya aldyan. Panggil dia 'Nada'. Jangan pernah panggil dia 'CKM', ku peringa...