Kepulangan Nada dari sekolah disambut hangat oleh ruangan kamarnya. Rasanya pas sekali. Seharian menghabiskan waktu berjemur di tengah lapangan lalu pulang dan langsung merasakan suasana sejuk dari pendingin ruangan kamarnya.
Nada menghempaskan badannya ke tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamar. Ingatan itu tiba-tiba kembali. Ingatan yang selalu mengusiknya. Ingatan yang membuat dia benci dan benci. Termasuk benci pada dirinya.
Nada memejamkan matanya. Hanyut dalam ingatan pahit itu. Seperti sudah dibuat nyaman dengan ingatan itu walau berujung kesakitan yang mendalam. Dia benci mengingat itu. Tapi pikirannya seperti sudah di magnet untuk selalu mengingat kejadian demi kejadian yang membuat emosinya tidak terkendalikan.
Secepat mungkin dia membuka matanya. Sadar bahwa dia tidak boleh larut dalam keadaan seperti ini. Dia meraih tasnya lalu mencari suatu benda. Benda yang paling mengerti dirinya. Tapi sudah di cari ke sela-sela tas paling dalam dia tetap tidak menemukannya. Nada mendengus kesal. Dia baru ingat masalah tadi pagi. Benda itu sudah dibuang Nelza. Emosi yang sudah padam kini kembali tumbuh. Nelza selalu berhasil membuat Nada kesal walau tidak bertatap muka sekalipun. Dan itu kelebihan Nelza yang tidak dimiliki orang lain.
Nada mungkin harus tidur siang, dan pemikiran itu ternyata benar. Dia kembali berbaring lalu memejamkan matanya. Tertidur pulas dan meninggalkan kenyataan yang memahitkan. Untuk sementara.
***
Nada sibuk dengan lemari dapur. Sedari tadi dia tidak menemukan cemilan yang pas. Bik Ani sudah menawarkan segala macam cemilan tapi Nada menolak. Entah cemilan seperti apa yang dia cari. Saat ditanya dia hanya menggeleng mengisyaratkan jangan bertanya.
"Kak!"
Nada menoleh.
"Ada yang datang. Nyari kakak." Evi memberi tahu.
Tanpa berpikir lagi Nada bergegas keruang tamu untuk menemui orang itu. Sesampainya disana Nada bingung bukan main. Ada apa Raka datang malam-malam begini. Raka tampak melempar senyuman termanis yang dia punya, yang mana senyum itu dapat membuat seluruh murid perempuan di SMA Pancasila meleleh tak karuan. Namun lain halnya dengan Nada, dia justru bingung. Lebih tepatnya bingung karena Raka ada dirumahnya.
"Gue mau ajak lo jalan" Ucap Raka tanpa memberi izin Nada untuk bertanya dahulu.
"Lo gila ya, ngapain ngajak gue! Ganggu gue aja lo!" Bentak Nada.
Raka nyengir, "Kan lo pacar gue. Ya masa gue ngga boleh ngajak pacar sendiri jalan-jalan" Ucap Raka lembut.
Nada menghela nafas dalam-dalam. Dia baru teringat dengan hal bodoh yang dia lakukan itu. Bukannya membuat Raka menjauh, justru dia malah memberi kemudahan untuk Raka. Dia benar-benar menyesal.
"Gimana? Maukan?" Tanya Raka dengan muka yang berbinar-binar.
"Yaudaa. Gue siap-siap dulu." Ucap Nada dengan sangat sangat berat hati.
Nada berjalan mau menuju kamarnya. Dia masih menyumpahi dirinya sendiri. Setelah malam ini mungkin banyak hal menyebalkan yang harus dia alami karena ulah Raka.
"Nad!"
Nada membalikkan badannya. Menaikkan satu alisnya pertanda bingung.
"Ga usah dandan. Lo gimana pun selalu cantik." Ucap Raka tulus.
"Dih, siapa juga yang mau dandan. Apalagi demi lo! Ogahh!"
Nada kembali berjalan menuju kamar dengan rasa geli. Dia bingung mengapa banyak orang yang mau pacaran. Banyak Perempuan cerdas yang termakan rayuan laki-laki dan Nada selalu berjaga-jaga selama ini untuk tidak masuk ke lubang mulut omong kosong laki-laki. Itu sebabnya dia tidak mudah termakan rayuan Raka. Dan beda dengan sekarang. Sekarang. Justru dia yang mengundang lobang itu. Benar-benar menyebalkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT BUMI
Teen FictionNada yang tidak memiliki tujuan dalam hidupnya. Apakah dia salah jika tidak menerima apa yang di putuskan takdir untuknya? Bisakah dia hidup dengan rasa tidak terima? Nada asya aldyan. Panggil dia 'Nada'. Jangan pernah panggil dia 'CKM', ku peringa...