'Hai bulan lama tak bertemu.' Sapaku pada sang rembulan.
'Ada apa? Terakhir kali kamu menyapaku karena kamu sedang bersedih.'
Balas rembulan tanpa basa basi.Sepertinya bulan tidak dalam mood mendengar ceritaku.
'Tak apa. Ayo ceritalah. Sudah menjadi salah satu kegiatan favoritku kala bekerja. Mendengar kisah yang kesepian.' Ucap bulan lebih lembut.
Sesaat aku ragu, tapi rasa ingin tahu-ku mendominasi.
'Aku hanya penasaran... apa rasanya.. kala kamu hanya bisa melihat mentari tanpa bisa bersatu?' Tanyaku. Bulan diam sebentar lalu tersenyum terang.'Jujur? Pedih rasanya. Melihat dia dipuja oleh orang lain. Dicintai dan ditunggu orang lain. Melihat dia terkadang membuatku sesak.' Jelas rembulan. Matanya menyiratkan tanda ingin mengganti topik.
Aku pun terdiam. Bulan terdiam. Sunyi menjadi satu-satunya sumber suara. Kubuka mulutku dan bertanya lagi,
'Kalau memang dia hanya membuatmu sakit, apa masih ada alasan bertahan?'Bulan tersenyum , walaupun matanya menahan tangis.
'Terkadang aku merindu dia tanpa bisa berdialog. Mungkin memang sudah peran kami untuk bersinar dengan cara yang berbeda. Aku paham betul itu. Tapi terkadang situasi , sulit untuk diterima.' Kata bulan.
'Dia menawarkan kehangatan , aku menawarkan kesunyian. Dia menawarkan harapan , aku menawarkan kenyamanan. Walaupun mungkin mentari tak akan pernah tau yang aku rasakan , aku bersyukur pernah mengenal dia.' Lanjutnya.Mungkin rembulan benar. Terkandang kita hanya dapat bersyukur karena dia pernah ada. Apakah alasan itu masih ada atau telah sirna, biarlah masing-masing insan, menentukan jawabannya.
Aku tersenyum mendengar jawaban rembulan.
'Apa yang membuatmu bertanya soal ini?' Tanya rembulan.
'Entahlah.. mungkin karena aku juga sangat merindu mentari.' Jawabku.
Giliran bulan yang tersenyum mengerti.
Teruntuk semua yang merindukan mentari mereka.
Bandung, 9 Juni 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenggelam
Cerita PendekMaka sedalam apa Tuan, saya dapat tenggelam dalam angan-angan?