[Barista] Titisan Rawi

21 5 3
                                    

Titisan Rawi
by Dreamythrina

Medieval Fantasy, Supernatural

Teen

±1497 words

GUGUDAN's Kim Sejeong as Eirianwen
SEVENTEEN's S.Coups as Juven
TWICE's Tzuyu as Therribilis

The ideas, story, and OCs are mine. Sejeong, S.Coups, and Tzuyu are belong to God and theirselves.
Please respect me as an author: no bash, no copy-paste, and please leave your mark. :)

Happy Reading!

Titisan Rawi

Suhu bertambah rendah petang ini. Warna alam lebih kelam, udara lebih mencekam, angin yang berembus pun tidak berkawan.

Kehidupan seolah luruh perlahan.

"Sepertinya kepercayaan itu benar." Aku mengelus ukiran matahari di pergelangan tangan kananku. "Therribilis kembali malam ini."

Juven di sebelahku terlihat cukup tenang. "Juga berdasarkan kepercayaan, Therribilis tidak akan mengerahkan kekuatan setidaknya dua hari ke depan. Dia perlu memulihkan diri di dua hari keramat itu."

Aku berdiri dan mengambil Gamma yang tersampir di punggung, mencengkeramnya kuat dan memasang tingkat kewaspadaan hingga titik kulminasi. Gamma adalah senjata andalanku: kapak mata dua bergagang 60 senti dengan belati keemasan di tampuknya­—bisa digunakan untuk pajangan estetis, menebang pohon, menohok hewan buas, hingga melembing Juven (yang suka sekali menjahiliku).

Getir yang dilahirkan dari gagasan bahwa Therribilis telah kembali tidak bisa dihindari. Tetapi setidaknya, menggenggam Gamma membuatku merasa lebih baik—seakan sanggup mempertahankan, sanggup melindungi, dan sanggup melawan balik.

"Itu tidak menjamin apa pun—Therribilis bisa membantai kita kapan saja." Rasanya pahit mengucapkan hal-hal realistis seperti itu.

"Juven, tolong beri tahu Koordinator Keamanan, kita akan butuh lebih dari selusin untuk berjaga malam ini." Aku melirik daun-daun yang didempuli lapisan es putih tipis dan mengernyit, "Juga pada Koordinator Logistik untuk membagikan sehelai selimut lagi untuk semua orang."

Aku bertolak ke garis terluar hutan, memandangi matahari yang nyaris sepenuhnya tenggelam. Kupanjatkan doa pada siapa pun—utamanya yang menjaga kehidupan. Setelah matahari tenggelam, kejahatan akan kembali merajalela setelah melemah sebulan terakhir. Meski begitu, aku berharap kejahatan Therribilis bisa segera diakhiri.

Suhu benar-benar jatuh dengan ganas setelah sang surya terlelap. Aku bisa melihat cahaya obor para penjaga di kejauhan dan hendak bergabung... tetapi ditahan oleh teriak samar dari selatan.

Aku terlampau mengenalnya dan tidak bisa mengabaikan teriakan lemah meminta tolong itu.

"Juven!"

Aku melesak melewati pohon-pohon dengan kecepatan abnormal menuju suara Juven dalam kegelapan. Suaranya yang tersiksa menggerogotiku. Ia pastilah ditangkap kacung Therribilis saat sedang berkeliling. Aku berharap aku tidak terlambat.

Hutan mulai meranggas. Pohon-pohon tandus dengan ganjil, tanah menghitam seperti diguyur ter, dan rumput busuk berdesakan di bawah kakiku.

Aku memasuki wilayah yang ternodai kekejian Therribilis.

Segumpal rasa takut menyekat tenggorokanku saat aku terhenti di depan gua yang gulita. Suara Juven berasal dari sana, semakin lemah setiap sekonnya. Aku mengangkat Gamma; tampuk keemasannya berpendar redup dan memberiku sedikit akses visual. Berikutnya, aku menyongsong kegelapan.

#2: A Lingering Touch and Welcoming SignsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang