[Pâtissier] Sunrise

51 9 8
                                    

Author: anhays99 

Title: Sunrise

Disclaimer: Semua jalan cerita sepenuhnya fiktif dan hasil karangan semata.

**

Matahari nampak malu-malu bersinar pada pagi hari itu. Musim panas yang diawali dengan sapaan hangat dari sang mentari. Dowoon merenggangkan tubuhnya begitu terbangun tanpa alarm. Tubuhnya terasa segar, meskipun semalam dia tidur hampir larut malam. Kepalanya menengok ke kiri, ranjang yang berada tepat di sebelahnya sudah kosong.

"Sudah bangun? Ayo turun dan sarapan."

Dowoon menoleh, lalu menganggukkan kepalanya sekilas. Dan pintu kembali tertutup. Bergegas dia mengambil baju dan masuk kamar mandi yang ada di dalam kamar.

Saat dia turun menuju meja makan, dia sudah disuguhi pemandangan hangat yang selalu menenangkan hatinya. Seluruh keluarga yang berkumpul bersama untuk sarapan. Ralat, bukan keluarganya sebenarnya, tapi keluarga temannya; Kim Wonpil.

Lalu, bagaimana dia bisa berakhir disini? Semuanya terjadi begitu cepat. Kematian orang tuanya, kuliahnya yang berantakan, tak ada sanak saudara yang bersedia merawatnya, dan hidup sebatang kara. Lengkap sudah, bukan? Dan kemudian, Wonpil mengulurkan tangan padanya. Bukan hanya sebagai teman sekolah, tapi sebagai sahabat dan keluarganya saat ini. Keluarga Wonpil sangat hangat, mereka menerima dirinya yang sebatang kara ini dengan tangan terbuka. Meskipun terkadang Dowoon merasa tak enak hati karena menumpang gratis di rumah mereka, tapi mereka tak mempermasalahkannya. Dowoon bahkan diizinkan untuk memanggil orang tua Wonpil dengan sebutan 'ibu' dan 'ayah'.

Sudah tak terhitung berapa kali Dowoon bersyukur atas hal itu.

"Hei, kenapa berdiri saja? Ayo kemari dan sarapan jika tidak ingin tertinggal bus." Teriakan ibunya Wonpil membuyarkan lamunannya. Sosok ibu yang sudah hilang selama lima tahun, kini kembali lagi.

Segera dia menghampiri mereka dan duduk di sebelah Wonpil. Pria itu sibuk memainkan game di ponselnya tanpa tahu Dowoon sudah ada disampingnya. Akhir-akhir ini Wonpil memang sedikit maniak terhadap game.

"Bagaimana dengan kuliahmu, Dowoon?" tanya aya Wonpil sembari menyesap kopinya.

"Baik-baik saja, paman. Aku juga sudah mulai mengerjakan skripsi. Juga, sesekali aku membantu pekerjaan dosen pembimbingku."

"Kau rajin sekali. Lalu bagaimana denganmu, Kim Wonpil?" kini ayah Wonpil mengalihkan pertanyaannya pada anaknya. "Kuharap ada satu nilai A nanti."

Dowoon tersenyum tipis. Dia memang bersahabat dengan Wonpil, tapi tetaplah mereka dua individu yang berbeda. Ia yang kuliah di jurusan psikologi dan Wonpil di jurusan teknik lingkungan. Seharusnya anak teknik lebih sibuk, tapi entah kenapa kegiatan Wonpil sangat santai dibanding kegiatannya saat di kampus.

"Jika aku mendapat banyak nilai A nanti, apa kau akan membelikanku mobil?" tanya Wonpil tanpa memandang ayahnya.

"Anak ini! Pastikan kau sungguh-sungguh kali ini. Seriuslah! Jangan main-main! Tidak banyak orang yang bisa kuliah disana, harusnya kau bersyukur dan belajar dengan sungguh-sungguh! Dasar pemalas!"

Saat dikatai 'pemalas', barulah Wonpil memandang ayahnya dengan tatapan tak percayanya.

"Jangan menyesal jika aku benar-benar meminta mobil nanti."

"Tunjukkan dulu aku nilai A!"

"Akan kudapatkan sepuluh A!"

"Buktikan dulu."

"Sudah cukup!" akhirnya ibu menengahi perdebatan ayah dan anak itu soal nilai A. "Berhenti berdebat dan makan sarapannya."

Dowoon lagi-lagi hanya bisa tersenyum tipis. Disini dia mendapatkan kebahagiannya lagi. Perdebatan keluarga yang sudah lama hilang.

#2: A Lingering Touch and Welcoming SignsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang