Waktu seakan bergerak dengan cepat, aktifitas dan kesibukan membuat kita tak menyadari jika detik demi detik dalam hidup ini telah berlalu. Ada pertemuan ada perpisahan, ada yang bertahan ada juga yang memilih menyerah. Sementara yang tersisa dari sebuah masa lalu hanya lah kenangan.
Baik Davie atau Zahra, mereka sama-sama larut dalam waktu mereka masing-masing. Davie dengan keputusannya akan memberi kesempatan untuk Mita masuk kedalam hatinya sesuai nasehat sang mama, dan Zahra tetap kekeuh dengan keputusannya akan menjadi pengantin Luky.
Sepasang manusia yang saling mencinta itu sama-sama menyadari, jika dalam hubungan mereka tak ada yang bisa dipertahankan. Nyatanya waktu adalah detak menerus, bagi mereka yang tersisa sekarang hanya sebuah kenangan. Kenangan yang mungkin akan tetap mereka simpan dalam kotak kecil bernama masa lalu. Yang akan terus mereka ingat jika mereka saling merindukan.
Pada akhirnya, Zahra atau Davie lebih memilih menjaga jarak guna menghindari debaran jantung masing-masing yang selalu berteriak ingin saling memeluk, dan mengungkapkan rasa rindu. Tapi intensitas pertemuan mereka yang terlalu sering justru membuat dua orang itu mulai goyah, meski selama dua bulan ini mereka terus mencoba saling menghindar.
Davie tak pernah menatap Zahra meski wanita itu berada di depannya. Begitu pun Zahra, mereka bersikap terlalu profesional seolah mereka tak pernah kenal sebelumnya. Davie hanya menyapa Zahra seperlunya.
Davie tersentak kaget saat dering ponsel di saku jasnya berbunyi. Tertera nama Alister, sahabatnya yang sekaligus pewaris tunggal Diamond hotel. Davie mengangkat sambungan itu meski dia sedang tak ingin diganggu.
"Ya, ada apa menghubungiku?"
"Ck, jahat sekali kau ini, aku hanya ingin bilang Ayah memintamu ke ruangannya sekarang, dia ingin mengadakan rapat denganmu."
"Kenapa harus kamu yang menghubungi? Bukankah kamu bilang sedang di Amrik sekarang?"
"Ck, aku sedang di Indonesia, Ayah ingin aku ikut terlibat dalam projek ini. Jadi cepat kemari."
"Baiklah, aku akan ke sana."
"Eeeh ... jangan lupa ajak sekretaris-mu yang cantik itu, ya. Aku merindukan dia."
Mendengar ucapan Alister, Davie mengatupkan rahang menahan kesal. Jika saja orang di seberang bukan sahabatnya sekaligus bosnya, sudah pasti dia akan mendatangi laki-laki itu dan menghajarnya.
"Kalau ingin main-main jangan dengan dia!" jawab Davie dingin.
"Hey, Bro. Kamu itu kenapa? Aku hanya iseng saja, Ah apa jangan-jangan ka-" belum selesai Al bicara --begitu biasa dia dipanggil-- Davie langsung mematikan sambungan teleponnya, lalu keluar ruangan.
Davie mengamati Zahra yang terlihat sibuk mengetik laporan. Kemudian memutuskan berdehaem. Wanita di depannya menoleh, dan terlihat kaget mendapati Davie berdiri di belakangnya. Seperti biasa saat mata mereka bertabrakan, Davie memilih langsung mengalihkan tatapan.
"Bisa bantu saya membawakan dokumen-dokumen di meja? Dan bawa ke ruangan Presdir."
"Baik, Pak." Zahra mengangguk. Lalu laki-laki di depannya lebih dulu pergi ke ruang Presdir.
Saat memasuki ruangan presdir, Pak Nico, ayah Alister, selaku presdir, terlihat sedang menelepon. Sementara Alister duduk di sebuah sofa yang terdapat di samping kanan meja kerja presdir.
Sofa berwarna hitam itu berfungsi untuk menerima tamu. Di samping meja kerja presdir terdapat rak buku untuk menyimpan dokumen dan sejenisnya. Sementara bagian belakang adalah dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta.
Al melambaikan tangan ke arah Zahra, sambari menyunggingkan senyum menawan. Senyum yang selalu berhasil membuat semua wanita menggilainya. Jangan lupakan juga kedipan mata menggoda yang dia arahkan pada Zahra, kontan membuat wanita itu tersipu malu.
Davie yang menyadari arah tatapan Al, langsung mengalihkan pandangan pada Zahra. Laki-laki itu mengumpat dalam hati saat melihat wajah Zahra memerah hanya karena digoda Al. Laki-laki itu terpaksa mengalihkan perhatian saat Pak Nico menyapanya.
"Ah, kamu sudah datang? Duduk lah. Ada sesuatu yang ingin saya diskusikan denganmu," perintah Pak Nico.
Davie mengangguk hormat, sementara Zahra yang berdiri di belakangnya hanya diam dan menunggu perintah Davie selanjutnya.
"Begini, saya ingin memintamu melakukan kunjungan ke Malaysia besok, untuk meninjau projek pembangunan hotel di sana yang sebentar lagi rampung. Sekaligus adakan pertemuan dengan beberapa investor yang berminat bekerja sama dengan hotel kita. Buktikan kemampuanmu seperti yang Al katakan,"
"Baik, Pak."
"Dan kali ini saya meminta Al yang datang mewakili saya."
Mendengar ucapan itu keluar dari mulut sang ayah, Al membulatkan matanya.
"Kenapa harus aku, Pak Dir-""Saya ingin dia belajar mengelola hotel darimu, jadi saya harap kamu mengajarinya dengan baik agar dia bisa bertanggung jawab sepertimu," ujar Pak Nico sambil mengangkat tangannya ke arah Al, sebagai tanda agar putranya diam.
"Baik, Pak. Saya akan melakukan yang anda minta,"
"Ah, ya. Jangan pernah ragu untuk memarahinya jika dia berbuat seenaknya." Kata-kata presdir hanya di jawab anggukan hormat Davie.
"kalau begitu, bisa tunjukan data keuangan paling up-to-date perusahaan ini yang saya minta kemarin?"
"Tentu, Pak."
Setelah itu Zahra menyerahkan dokumen yang diinginkan pak Nico pada Davie.
******
Jam makan siang, Al mengajak Davie untuk makan di sebuah restoran
"Jadi, kamu serius? si cantik Zahra adalah cinta pertamamu yang kamu ceritakan itu? Dunia sempit sekali ternyata. Kenapa harus dia? Padahal aku berencana menjadikannya kekasihku," ujar Al dengan wajah terluka yang dibuat-buat. Usai Davie menceritakan yang sebenarnya pada Alister.
"Jangan mimpi! Selagi ada aku di sini. Dan percayalah, dia sama sekali bukan tipe mu."
"Oh, ya? Jadi kamu pikir dia cocok untukmu, Bung?" Ada jeda sejenak, Davie masih sibuk mengaduk makananya tanpa minat.
"tapi kenapa aku perhatikan kalian berdua bersikap canggung? Bukannya kamu bilang akan melamarnya?" sambung Alister.
Davie diam sejenak "Aku terlambat, karena dia telah bertunangan." Davie menjawab dengan nada lesu.
"Oh ... tragis sekali. Itu mengapa aku nggak akan pernah jatuh cinta. Sangat merepotkan," ejek Al dengan wajah menyebalkan, membuat Davie berdecak sebal.
"Ck, Diam kau!" sungut Davie.
Alister tawa puas melihat Davie begitu frustrasi. Baru sekarang dia melihat sahabatnya begitu kalut karena wanita. Mengingat rekor Davie sebagai good boy benar-benar patut diacungi jempol.
"Ah, akhirnya aku bisa melihatmu menjadi laki-laki normal." Al semakin meledek Davie. Laki-laki itu masih ingat betul bagaimana dulu dia dan Davie sering digosipkan sebagai pasangan gay hanya karna Davie tak pernah mau dekat dengan semua wanita yang menyukainya.
"Sialan!" umpat Davie pada sahabatnya. Tawa Al kembali menggema hingga menimbulkan perhatian beberapa pengunjung.
Davie terdiam, laki-laki di depannya adalah Alister Galen Bagaskara, putra tunggal keluarga Bagaskara sekaligus sahabat masa kuliahnya. Pria blasteran indo-Jerman inilah yang dulu selalu membantunya ketika tengah kesulitan. Meski mereka berbeda latar belakang, Al tak pernah menganggapnya rendah.
Tawa Al terhenti, ketika seorang wanita seksi yang duduk di sebelah mereka datang mendekat.
"Hai ... boleh aku duduk," tanya wanita itu meminta izin. Davie hanya terlihat datar menatap wanita itu, sementara Al justru sebaliknya.
"Of course ... boleh sekali, Nona. Silakan," ujar Al dengan wajah modusnya.
Davie memutar mata jengah. Kalau sudah begitu, bisa dipastikan kemana arah pembicaraan Al. Pasti tak jauh dari urusan ranjang.
Davie memilih bangkit. "Aku pergi dulu." Tanpa meminta persetujuan Al Davie beranjak pergi.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love (CLBK) Repost (Complet)
RomanceJudul awal CLBK (Cinta Lama Belum Kelar) Best rank, 64 dalam #Romance Udah mau nikah, tapi tiba-tiba cinta pertamamu balik lagi. Kira-kira apa yang akan kamu lakukan kalau disuruh memilih? itulah gambaran situasi yang tengah dihadapi oleh Zahra. Ia...