28. Rumit

907 65 15
                                    

No edit!

Pagi-pagi sekali mobil yang Davie kendarai telah terparkir di depan rumah Ian Anggoro, kakak Zahra.

Zahra terlihat begitu khawatir saat kakinya menapaki halaman depan rumah sang kakak. Dia takut Ian akan murka dan berbuat hal brutal pada Davie. Terlebih setelah acara kaburnya ke apartemen Davie diketahui Ian.

"Ayo, kita masuk. Hari minggu kakakmu pasti ada di rumah, kan?" tanya Davie yang hanya dijawab anggukan lesu Zahra.

Langkah Zahra terasa berat sekali ketika Davie menarik tangannya agar mereka berjalan bersama untuk menemui Ian. Dapat dia rasakan remasan tangan Davie pada tangannya, seolah memberikan Zahra kekuatan agar mereka sama-sama berjuang.

Ditatapnya wajah tegas Davie yang tetap melangkah maju, bahkan tak ada keraguan dalam sorot mata laki-laki itu.

"Aku ingin bersamamu seumur hidup. Tapi bukan dengan cara membawamu kabur. Aku bahkan akan tetap maju meski yang harus aku hadapi seribu kali lebih menakutkan dari kakakmu. Aku ingin memperjuangkan mu, maka aku harap kamu juga bersedia memperjuangkan aku."

Ketegasan yang Davie lontarkan seolah melunturkan keraguan Zahra. Davie benar, jika hanya laki-laki itu yang berjuang itu artinya dia egois.

"Assalamualaikum." Suara sapaan salam Davie menggema ke penjuru rumah dua lantai itu. Hari masih pagi dan tenang.

Beberapa saat menunggu, pintu terbuka. Di depan pintu, Indri menyambut kedatangan mereka dengan senyum lebar.

"Zahra, ya ampun akhirnya kamu pulang."

"Kak," ucap Zahra memeluk Indri.

Indri beralih menatap Davie, dia memperhatikan laki-laki itu seksama setelah mengurai pelukannya pada Zahra.

"Ayo silakan masuk." Indri menawarkan pada Davie.

Tapi, baru satu langkah kakinya masuk, terdengar seruan Ian menghentikan langkah mereka.

"Untuk apa kalian ke sini!"

Melihat ekspresi tak suka kakaknya, Zahra sedikit gentar. Wanita itu mencoba menarik tangan Davie agar bersedia pergi dari rumah itu. Tapi, Davie justru menarik Zahra agar dia tetap berdiri di sisinya.

"Tenang lah, biar aku yang bicara," bisik Davie mencoba meyakinkan kekasihnya.

"Saya ke sini hanya ingin meminta restu Mas. Tolong izinkan saya membahagiakan Zahra."

Mendengar ucapan Davie, Ian tersenyum sinis.

"Bagaimana bisa aku mempercayakan adikku pada laki-laki yang membawanya tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan."

"Kak Davie tid-"

Zahra hendak melayangkan protesnya jika saja Davie tak menghentikan.

"Ya, saya tahu saya salah. Seharusnya dari awal saya pulangkan Zahra." Davie mencoba membuat suasana tak semakin panas. Dalam situasi seperti saat ini mengalah adalah cara terbaik.

"Masuk ke dalam, Zahra!" seru Ian tanpa memedulikan penjelasan Davie.

"Nggak! Zahra mau tetap di sini."

"ZAHRA!" Kali ini Ian benar-benar tak bisa lagi menahan emosinya. Dia sudah menahan ini dari dua hari yang lalu ketika Nanda memberitahunya jika Zahra sudah dua hari tinggal di apartemen laki-laki itu.

Ian bahkan mengetahui fakta Davie adalah bos baru Zahra dari sahabat adiknya tersebut. Laki-laki itu tak mengetahui keadaan hubungan adiknya dengan Nanda.

Davie menganggukkan kepalanya agar Zahra menuruti ucapan Ian. Dengan ragu, wanita itu melangkah masuk meninggalkan kekasihnya. Tapi baru saja langkah Zahra mencapai pintu tengah, terdengar suar teriakan tertahan Davie akibat pukulan Ian.

Zahra secara reflek berteriak ketika menoleh dan mendapati Ian tengah melayangkan tinjunya berkali-kali pada Davie.

"Mas Ian, Stop! Berhenti!" teriak Zahra. Wanita itu berniat melindungi Davie jika saja Indri tak menahan lengannya.

"Jika kamu benar laki-laki, maka datanglah kepada orang tuaku baik-baik. Bukan dengan cara mengajaknya tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan!" Setelah mengatakan itu, Ian mendorong Davie keluar dan menutup pintu keras-keras. Tak memedulikan teriakan melengking sang adik.

"Mas jahat! Aku benci sama Mas Ian!" seru Zahra meronta, sementara pipinya basah oleh air mata.

"Masuk kamu!" ucap Ian dengan rahang mengeras. Laki-laki itu menulikan telinga, bahkan tak menghiraukan pukulan Zahra di pundaknya ketika dia menyeret wanita itu dan mengurungnya di dalam kamar.

"Buka ... Buka! ZAHRA BENCI MAS IAN! ZAHRA BENCI!" teriak Zahra sambil menggedor pintu kamar.

Sementara Indri tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong adik iparnya. Meski begitu, Indri menemui Davie sebentar sebelum laki-laki itu pergi. Tentu saja tanpa sepengetahuan Ian.

"Kamu pulang saja dulu. Zahra akan baik-baik saja. Besok saya kabari kamu."

"Baik, Kak. Terima kasih, saya titip Zahra." Indri hanya mengangguk sebagai jawaban.

Indri menatap kepergian Davie dengan iba, wanita itu menghembuskan nafas. Sedikit merasa prihatin akan kisah cinta Zahra yang rumit.

*****

Pagi ini Davie berangkat ke kantor tanpa semangat sama sekali. Dia memikirkan Zahra dan kondisinya. Meski Indri menyatakan Zahra baik-baik saja tetap hatinya merasa tak tenang sebelum bertemu sang kekasih secara langsung. Nomor ponsel wanita itu pun tak aktif dari semalam.

Jika saja hari ini tak ada meeting penting dengan rekan bisnis baru hotel Diamond, mungkin dia lebih memilih mendatangi rumah Ian.

Sepanjang koridor kantor banyak karyawan yang menatapnya penasaran. Desas-desus yang menyatakan Davie dan Zahra telah tinggal di apartemen yang sama telah menyebar. Meski begitu dia tak peduli apa kata mereka. Davie bersyukur untuk kali ini, karena Zahra tak masuk. Sebab kalau kekasihnya dengar semua olokan satu kantor, pasti dia akan sedih.

Begitu Davie sampai di lantai ruangannya berada, Diandra menghentikan langkah laki-laki itu.

"Pak, Anda sudah ditunggu di ruangan Presdir, karena rapat akan segera dimulai,"

"Ya, sepuluh menit lagi saya menyusul."

Diandra hanya menjawab pernyataan Davie dengan anggukan kecil. Lalu wanita itu melangkah pergi ke ruang rapat. Disusul Davie di belakangnya. Davie lebih dulu masuk ke ruang kerjanya untuk menyiapkan dokumen.

Davie melangkah ke dalam ruang rapat dengan sikap tegas dan tenang. Laki-laki itu selalu berusaha profesional pada pekerjaan meski sedang ada masalah pribadi. Tapi kali ini dia tak yakin ketenangan yang biasa dipertahankan dalam urusan bisnis mampu menghalau gejolak dalam dadanya.

Davie terdiam, dan berdiri menatap kosong laki-laki paruh baya yang kini terlihat berbincang dengan Presdir. Tangannya terkepal tanpa sadar begitu dia tahu laki-laki yang paling dibencinya tengah duduk di ruang rapat itu juga.

Bertahun-tahun jarak memisahkannya dengan laki-laki itu. Susah payah Davie menata hatinya, dan kini setelah dirinya seperti sekarang kenapa laki-laki itu harus muncul?

"Ah, bisa kita mulai rapatnya sekarang, Pak Davie?" Pertanyaan presdir yang tiba-tiba berhasil menyadarkan Davie.

Laki-laki itu hanya mengangguk, lalu bersiap melakukan presentasi. Davie bahkan bersikap tak acuh pada Yudanta meski laki-laki itu terus menatapnya. Davie sekuat tenaga mempertahankan sikap tenangnya dan terus berpura-pura tak mengenal ayahnya sendiri.

****

Hai hai selamat siang semua.  Gimana dengan part ini, nggak jelas apa nggak jelas banget? Hahaha aku pun bingung ini mau dibikin endinya kek apa. Buntu asli. Makannya maaf ya kalau nanti ending nggak sesuai ekspektasi hihihi. Yang penting tamat udah, revisi mah pan kapan hahaha.

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan tap love.

First Love (CLBK) Repost (Complet)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang